Rabu, 15 April 2009

pendidikan dasar (5)

Mendiknas: Pendidikan Dasar Gratis Mulai 2009

Pemerintah kembali menjanjikan pendidikan dasar gratis. Akankan hanya sekedar janji?
Senin, 27 Oktober 2008, 18:28 WIB

VIVAnews – Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo menjanjikan pendidikan dasar wajib di Indonesia tidak dipungut biaya, alias gratis, mulai tahun 2009.

”Semua sekolah, baik dibawah naungan dinas pendidikan maupun Departemen Agama tidak dipungut biaya,” katanya usai Gelar Prestasi dan Bela Negara Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se Indonesia di Sasana Budaya Ganesha, ITB, Bandung, Senin 27 Oktober 2008.

Bambang mengatakan dalam Anggaran 2009, pos bantuan operasional sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI), dipastikan naik secara signifikan. Meski palu belum diketuk, katanya, Dewan sudah sepakat dengan pemerintah
”Saya telah mengusulkan kenaikannya sekitar 50 persen dari tahun sebelumnya,” katanya.
Bambang juga menjanjikan pada tahun 2009 kesejahteraan guru di Indonesia meningkat, ”Minimal golongan terendah gajinya Rp 2 juta,” katanya.

Janji pendidikan gratis pernah diucapkan Bambang pada awal kepemimpinannya di Departemen Pendidikan Nasional. Pada 22 Oktober 2004, Bambang mengungkapkan tiga komitmennya yakni pendidikan gratis, akses ke pendidikan tinggi, dan kesejahteraan guru.

Namun, pada peringatan Hati Pendidikan Nasional tahun 2008, Bambang mengungkapkan pendidikan gratis tidak mungkin diwujudkan dalam waktu dekat karena prosentase 20 persen anggaran pendidikan belum bisa terwujud.






KOMPARATIF ANTARA KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR 1994 DENGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI


mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang (Nurkolis, 2004).
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik (Nurkolis, 2004). Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup, inilah sebenarnya arah Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu pendidikan berbasis keterampilan (life skill) dan perluasan fungsi dasar pendidikan (broad based education). Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dolar Amerika, master 40 juta dolar Amerika, dan sarjana 33 juta dolar Amerika. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpenghasilan rata-rata 19 juta dolar Amerika per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas Rp 3,5 juta, akademi Rp 3 juta, SLTA Rp 1,9 juta , dan SD hanya Rp 1,1 juta.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (McMahon dan Geske, 1982 : 121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi daripada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan
dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi, 1999 : 247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia sumbangan sosial pendidikan dasar terhadap masa depan anak didik rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekitar Rp 18.000 per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar Rp 66.000 per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro (Nurkolis, 2004) mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal daripada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Cheng, 1996 : 7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya, dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Penyelenggaraan pendidikan nasional selama ini, yang disorot mengalami kemunduran, sebenarnya telah mengalami banyak perubahan. Di antaranya keinginan untuk mengajukan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai pengganti Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 pada tahun 2004. Kurikulum itu mengacu pada kemampuan setiap peserta didik supaya benar-benar dapat diuji setelah menuntaskan pendidikannya di tingkat tertentu (Kompas, April 2004).
Perubahan kurikulum pendidikan untuk penyempurnaan mutu pendidikan, merupakan topik yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Keberhasilan penyelenggaraan kurikulum tentu tidak terlepas dari tanggung jawab sumber daya manusia di bidang pendidikan serta tidak kalah pentingnya dukungan dari masyarakat sendiri (Jurnal Pendidikan Penabur No. 01/ I / Maret 2002).
Penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan peningkatan mutu peserta didik telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan nasional sebagai berikut (Departemen Pendidikan Nasional, 2003):
1. Perubahan keempat UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan.
2. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.
3. Undang-undang No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Undang-undang No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan pemerintah dalam bidang pendidikan antara lain; (a) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional, dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya, (b) penetapan standar materi pelajaran pokok, …..(h) penetapan kalender tahunan bagi pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.
Perubahan kurikulum itu didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus-menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Kebijakan pemerintah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi didasarkan pada PP Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah. Pada PP ini, dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dinyatakan bahwa kewenangan pusat adalah dalam hal penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Berdasarkan hal itu, Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Adapun pengertian dari kurikulum pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan.
Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill. Silabus adalah acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan penilaian mencakup indikator dan instrumen penilaiannya yang meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan adalah berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta didik; sedangkan bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dikerjakan oleh peserta didik, baik dalam bentuk tes maupun nontes (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan penyempurnaan Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui perbandingan antara Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.






Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.


























Berharap Pendidikan Dasar Gratis 100 Persen
09 December 2008
Komitmen pemerintah menggratiskan pendidikan dasar harus diiringi komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi.
Di Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Adalah wajar, bila Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun menjadi impian setiap warga negara Indonesia. Apalagi pendidikan gratis alias tanpa dipungut biaya terus didengung-dengungkan. Namun, pendidikan gratis itu sendiri masih sering disalahartikan.
Interpretasinya pun bermacam-macam. Ada yang mengartikan pendidikan gratis sebagai tidak membayar uang sekolah berikut dengan segala keperluan lainnya seperti buku, seragam, transportasi, dan sebagainya. Ada pula yang mengartikan pendidikan gratis hanya meliputi biaya operasional sekolah saja.
Berdasarkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, jenis biaya pendidikan ada tiga, yakni biaya operasional yang merupakan biaya input pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. Atau, biaya yang dikeluarkan berulang-ulang setiap tahunnya meliputi biaya operasional personil dan biaya operasional nonpersonil. Dalam PP itu, pemerintah hanya menanggung biaya operasional sekolah seperti uang sekolah, gaji guru, dan sebagainya. Biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah dan sebagainya masih dibebankan pada orang tua.
Kedua, biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun. Ketiga, biaya pribadi yang merupakan biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua siswa.
Dari ketiga komponen biaya pendidikan tersebut, agaknya cukup sulit untuk mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia. Estimasi biaya ideal untuk menggratiskan pendidikan dasar tahun 2009, berdasarkan penelitian pakar pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah, Abbas Ghozali, termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) saja dibutuhkan dana sebesar Rp 157.221.278 triliun.
Sementara, dana BOS pada 2009 yang mampu dikucurkan pemerintah untuk SD dan SMP hanya Rp 27,7 triliun. Dengan rincian BOS SD sebesar Rp 12,02 triliun dan BOS SMP sebesar Rp 5,7 triliun.
”Pendidikan dasar gratis tanpa pungutan memang masih sulit diwujudkan. Namun, komitmen menuju perwujudan pendidikan gratis semakin menguat seiring kenaikan anggaran,” ujar Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dodi Nandika, di sela dialog publik bertajuk ‘Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Tanpa Dipungut Biaya, Mungkinkah?’ di, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), pekan lalu.
Menurut Dodi, komitmen pemerintah menggratiskan pendidikan dasar harus diiringi komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi. Pasalnya, persoalan tersebut merupakan masalah bersama. ”Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran yang besar untuk sektor pendidikan,” jelasnya.
Untuk menegaskan komitmen tersebut, Dodi menyatakan, pemerintah telah memasukkan satu pasal dalam UU APBN mengenai tanggung jawab pemerintah daerah untuk ikut menutupi kekurangan biaya operasional pendidikan tersebut. Peran pemerintah daerah tersebut sudah termaktub dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. ”Satu pasal dalam UU APBN, sebenarnya merupakan penegasan,” cetusnya.
Disinggung mengenai sanksi bagi daerah yang tidak memenuhi anggaran 20 persen dari APBD, Dodi mengatakan, bisa saja diberikan sanksi pengurangan alokasi bantuan pendanaan dari pusat. ”Bisa juga dari pengurangan program-program pendidikan. Karena ini merupakan amanat UU. Itu respons yang bisa dilakukan pusat jika daerah tak memenuhi amanat tersebut,” tegasnya.
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi, menyatakan, pihaknya agak berbeda pendapat dengan pemerintah pusat. Ia mengaku lebih menginginkan pendidikan dasar gratis hanya untuk warga miskin di wilayahnya. Tak hanya bagi siswa SD dan SMP, lanjut dia, tapi juga untuk siswa SMA dan mahasiswa.
Zainul menyatakan, yang dibutuhkan siswa miskin tak hanya bantuan BOS. Tapi juga seragam, transport, dan buku-buku. ”Inilah yang ingin kami penuhi, gratis untuk siswa yang miskin saja,” jelasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR Mujib Rohmat mengatakan, ada tiga komponen yang bertanggung jawab dalam pendidikan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Untuk merealisasikan pendidikan gratis dan berkualitas memang masih jauh. ”Namun, pemerintah dan DPR sebenarnya telah berkomitmen mempercepat harapan merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu,” ujarnya.
Menurut Mujib, Wajar Dikdas Sembilan Tahun tanpa dipungut biaya selama ini masih dalam wilayah kebijakan politis. Tapi, untuk mencapai wilayah teknis, harus dilakukan pemantauan di masing-masing daerah. ”Ini pekerjaan yang tak mudah dan membutuhkan proses yang relatif panjang,” jelasnya










Anak Tak Enyam Pendidikan Dasar
By admin | April 5, 2008 | 0 Kali di baca
Fokus ke Kantong Keluarga Miskin
RADAR JOGJA - Kepala Dinas Pendidikan DIJ Prof Suwarsih Madya PhD mengakui, pendidikan di DIJ saat ini belum merata. Ada beberapa kantong keluarga miskin yang belum terjamah program wajib belajar, baik sembilan tahun maupun 12 tahun. Itu terbukti dengan masih adanya sekitar 5.151 anak miskin yang belum mengenyam pendidikan dasar.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Misalnya, mereka tidak memiliki beaya untuk sekolah dan budaya orang tua yang mendiskreditkan pendidikan. Keduanya harus diatasi dengan pendekatan berbeda,” ujar Suwarsih, menanggapi kritikan gubernur DIJ akan ketidakmerataan pendidikan di wilayahnya kemarin.

Mereka yang tak bisa menikmati bangku sekolah karena miskin, menurut Suwarsih, bisa diatasi dengan beasiswa. Misalnya, melalui program retrieval. Hanya, kemungkinan pemberian beasiswa belum merata sehingga ada warga miskin yang tidak kebagian.
“Untuk itu, dalam waktu dekat saya akan meminta kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota untuk fokus terhadap kantong keluarga miskin. Warga miskin harus didekati dengan pendekatan khusus. Ubah paradigma berpikir yang mengatakan banyak lulusan sekolah yang juga menjadi pengangguran. Itu salah satu pemikiran warga miskin yang menafikan arti penting pendidikan,” tegas guru besar UNY ini.
Ditegaskan mantan diplomat ini, tingginya anak putus sekolah tidak hanya karena faktor kemiskinan. Tapi juga budaya. Ada keluarga kaya tapi tidak ingin anaknya sekolah. Sebab menurut mereka sekolah itu tidak penting.
“Yang penting ya bekerja dan cari uang yang banyak. Mereka tidak mengetahui bahwa pendidikan juga bermanfaat untuk membentuk pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, mandiri, dan beradab,” tambahnya.
Angka partisipasi kasar (APK) SD/MI DIJ mencapai 109 persen. Tetapi masih ada sekitar 5.000 anak miskin yang tidak sekolah di SD. “Memang saatnya APK tidak menjadi satu-satunya acuan bahwa pendidikan telah merata. Perlu ada indikator yang lain,” tutur Suwarsih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar