Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus 5

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan Memang Beda.
Rabu, Kompas, 2 Maret 2005, hal 9

HATl -hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit
berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat
perkembangan intelegensia anak.
Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung
dicap tuna grahita itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang
disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
"Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara
autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan
yang diberikan pun harus berbeda," ujar Mudjito, Di- rektur Pendidikan
Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar "Memahami dan Mencari Solusi
Kesulitan Belajar pada Anak Autisme" di Depok, Ja-wa Barat, Sabtu
(26/2).Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan
berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris,
pola bermain, dan emosi. Pe nyebabnya karena antarjaringan dan fungsi
otak tidak sirkron . Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya bia-
sa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu
kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gi-zi ke
ibunya tak seimbang.Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami
hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya
tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas
akademik. Ini karena per- kembangan otak dan fungsi sarafnya tidak
sempurna.
Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
"Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit
berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada situasi tertentu
anak-anak autis bisa le- bih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi
anak-anak normal seusianya," tambahMudjito.
DALAM seminar yang me-nampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur
Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ely
Soekresno Psi (kon-sultan anak berkebutuhan khusus) tersebut terungkap
bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri
dan isme yangn berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik
hanya pada dunianya sendiri.

Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan
lingkungan sosial.


"Pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak
autis. Misalnya, mengonsurnsi makanan dan minuman tanpa pengendalian
mutu, termasuk makanan cepat sajii. Bisa juga karena buah dan sayuran
yang dikon-surnsi mengandung pestisida."

awal Februari lalu, para
ilmuwan yang bertemu pada "Autisrn Summit" di Califor- nia, Amerika
Serikat (AS), se pakat bahwa gejala autisme disebabkan oleh interaksi
sejumlah gen dengan fak- tor-faktor lingkungan yang belum
teridentifikasi.
Mengiltip International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan,
ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama,
zat putih pada otak yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah
terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada
usia 2 tahun, zat putih ini diternui secara berlebihan di lobes bagin
depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan
tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil da- ripada rata-rata
lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan,
tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6
bulan-2 ta- hun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun.
Ukuran otak anak autis ber-usia 5 tahun lebih kurang sa- ma dengan
ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme ju- ga dapat disebabkan
oleh virus seperti rubella, toxo, her- pes, jamur, nutrisi buruk,
pendarahan, dan keracunan ma- kanan saat hamil. Hal itu menghambat
pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang
dikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, ko- munikasi, dan
interaksi.Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada
masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya,
mengonsumsi makanan dan mi- numan tanpa pengendalian mutu, termasuk
makanan ce- pat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsum- si
mengandung zat pestisida.Tak pelak, prevalensi (pe- luang terjadinya)
autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dan hanya 4-5 anak yang
autis per 10.000 kelahiran na- ik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran
pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, su-dah mencapai 60 per 10.000
kelahiran.
Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indone-sia. Namun,
mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambah
masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya di- yakini mirip
AS. "Di sekolah-sekolah luar yang berada di kota besar, tidak sulit
menemukan anak autis. Di peda- laman, hampir tidak ditemu-kan," papar
Mudjito.
la menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang
mernbuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola
pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis.


AUTISME hanyalah satu dan delapan jenis kelainan gejala khusus yang
menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkan
pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup
tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat
gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental),
dan tunalaras (ber- tingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di
Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. sarana pendidikan luar
biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Se- suai
Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak
berke-lainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara de-ngan
anak-anak lainnya.

Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendi- dikan inklusi, di
mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus,

terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya. pengadaan guru khusus
untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari
75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500
guru sekualifikasi itu yang terang kat. Padahal, secara nasional masih
dibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja
sulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap
tunagrahita. (NASRULLAH NARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar