Rabu, 15 April 2009

pendidikan keagamaan (5)

Pendidikan keagamaan
Sabtu, 18 Maret 2000

Pendidikan Satu Atap
Oleh Masykuri Abdillah & Mastuki HS


GAGASAN tentang pendidikan nasional di bawah satu atap, yang berarti penghilangan "dualisme" penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti praktik selama ini, sebenarnya bukan suatu hal baru. Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983) pernah mengemukakan gagasan ini, yang berarti bahwa semua lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemimpin dan organisasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekuralisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Di samping itu, umat Islam, yang pada waktu itu termarjinalisasi secara politis, berpikir bahwa keberadaan pendidikan keagamaan bukan hanya sekadar bentuk kelembagaan, tetapi juga merupakan simbolisme politik Islam di Indonesia.
Selang 20 tahun kemudian gagasan itu kembali muncul, yang dikemukakan oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Memang Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan perlunya pendidikan nasional dalam satu atap, namun kebijakannya tentang perubahan nama Depdikbud menjadi Depdiknas dapat menjadi indikasi ke arah penyatuatapan ini. Kali ini gagasan penyatuan pendidikan nasional ini disambut biasa-biasa saja, dalam arti tidak ada penolakan keras maupun penerimaan dengan penuh kegembiraan. Tiadanya penolakan ini bisa jadi karena Mendiknas Dr Yahya Muhaimin, dan Menag KH Tolchah Hasan adalah sama-sama berasal dari organisasi Islam besar (Muhammadiyah dan NU), sehingga para tokoh Islam tidak khawatir akan munculnya sekularisasi pendidikan. Di samping itu, umat Islam kini sudah berada dalam center of power, sehingga pendidikan keagamaan di bawah Depag bukan merupakan satu-satunya ekspresi simbolisme politik Islam.
Pada dataran fisolofis, gagasan dasar Gus Dur dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan paradigmatis yang selama ini dirasa menggelayuti sistem pendidikan nasional. Diterimanya prinsip "dualisme-dikotomik" yang memisahkan dan membedakan "ilmu agama" dan "ilmu umum", sebagian diakibatkan oleh dualisme penyelenggaraan pendidikan ini. Dualisme ini bahkan membawa ekses munculnya persepsi bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan pada dataran praksis, hal ini telah melahirkan penyelenggaraan pendidikan yang "tidak adil" antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan. Sebagai contoh, indeks biaya pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibanding di sekolah umum, meski sejak awal tahun 1990-an telah terjadi kenaikan secara bertahap. Pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per siswa MIN (Ibtidaiyah) adalah Rp 19.000,- sedangkan SDN Rp 100.000,- (1:5,2), MTsN (Tsanawiyah) Rp 33.000,- sedangkan SMPN Rp 46.000,- (1:1,4), sedangkan SMUN Rp 67.000,- (1:1,3), dan IAIN Rp 50.000,- sedangkan UN/Institut Negeri Rp 150.000,- (1:3). Perbedaan ini akan sangat timpang jika perhitungan indeks biaya ini mengikutsertakan juga madrasah/sekolah swasta, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta dan umumnya di bawah standar. Hal semacam ini ternyata masih terjadi sampai kini (tahun anggaran 2000), meski sudah ada political will presiden, yang notabene berlatar pendidikan keagamaan, untuk mewujudkan kesetaraan di antara keduanya.
Perbedaan tersebut tentu berakibat pada tingkat kualitas pendidikan keagamaan yang secara umum di bawah pendidikan umum. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan keagamaan (madrasah dan perguruan tinggi agama), serta upaya-upaya untuk mengatasinya, termasuk gagasan penyatuatapan semua pendidikan di bawah sistem pendidikan nasional. Hanya bahasan ini lebih difokuskan pada pendidikan keagamaan Islam tingkat dasar dan menengah (madrasah), yang jumlah siswanya mencapai 15 persen dari keseluruhan jumlah siswa tetapi sampai kini masih menghadapi sejumlah permasalahan yang serius.
PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.
"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.
Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.
Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.
Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.
Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.
"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.
Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.
Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.
Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim. n S-1

Senin, 24 Mei 2004
Pesantren Harus Berkualitas
Sambas,- Pesantren hendaknya berkualitas, mandiri dan berdaya saing dan kuat kedudukannya dalam system pendidikan nasional, sehingga menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat, pembentukan santri sebagai muslim dan warga negara yang bertanggungjawab. Demikian diungkapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas,Drs H Jawani Usman ketika memberikan materi pada pembinaan Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Muhammad Basuni Imran Sambas, Selasa (18/5).

Visi pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata dia, terwujudnya pesantren yang berkualitas, mendiri dan berdaya saing. "Sedangkan misinya adalah, peningkatan mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, peningkatan mutu pondok pesantren salafiyah, memperkuat kerjasama pada lembaga terkait, pemberdayaan dan pengembangan santri serta memberikan pelayanan pondok pesantren berkompetensi," jelas Jawani.

Sedangkan program strategis pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata Jawani, system kendali mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan unsure instrumental, dan penguatan kelembagaan yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional. Selain itu, jelasnya, system penyelenggaraan wajib belajar dasar pada pesantren salafiyah, pengambangan potensi dan pemberdayaan pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan jaringan kerjasama dengan pemerintah, ormas dan LSM, serta pengembangan bakat dan minat serta kesejahteraan santri itu sendiri.

Problematika pendidikan keagamaan pondok pesantren di Kabupaten Sambas, kata Jawani, pemetaan pontren dan madin, pengembangan system informasi pendidikan keagamaan pontren, wajar dinas pendidikan salafiyah status dan kualitas pontren, madin dan ma'had aly. Selain itu, jelasnya, jaringan kerja sama dinas terkait, ormas dan LSM, rintisan daerah binaan pontren dan madin kepada masyarakat, pengiriman santri dan pengasuh studi magang, subsidi bantuan fisik dan KBM yakni hibah dan bantuan khusus. Pekan olah raga dan seni pontren yang belum berprestasi serta pelaporan dan administrasi pontren dan madin. "Kesemua ini belum terlaksana dengan baik. Ini menjadi problem kita semua. Untuk itu, harus ada solusi, agar pontren berkembang dan mandiri serta bersaing," jelas dia. (zrf)

< Pesantren hendaknya berkualitas, mandiri dan berdaya saing dan kuat kedudukannya dalam system pendidikan nasional, sehingga menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat, pembentukan santri sebagai muslim dan warga negara yang bertanggungjawab. Demikian diungkapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas,Drs H Jawani Usman ketika memberikan materi pada pembinaan Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Muhammad Basuni Imran Sambas, Selasa (18/5).

Visi pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata dia, terwujudnya pesantren yang berkualitas, mendiri dan berdaya saing. "Sedangkan misinya adalah, peningkatan mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, peningkatan mutu pondok pesantren salafiyah, memperkuat kerjasama pada lembaga terkait, pemberdayaan dan pengembangan santri serta memberikan pelayanan pondok pesantren berkompetensi," jelas Jawani.

Sedangkan program strategis pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata Jawani, system kendali mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan unsure instrumental, dan penguatan kelembagaan yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional. Selain itu, jelasnya, system penyelenggaraan wajib belajar dasar pada pesantren salafiyah, pengambangan potensi dan pemberdayaan pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan jaringan kerjasama dengan pemerintah, ormas dan LSM, serta pengembangan bakat dan minat serta kesejahteraan santri itu sendiri.

Problematika pendidikan keagamaan pondok pesantren di Kabupaten Sambas, kata Jawani, pemetaan pontren dan madin, pengembangan system informasi pendidikan keagamaan pontren, wajar dinas pendidikan salafiyah status dan kualitas pontren, madin dan ma'had aly. Selain itu, jelasnya, jaringan kerja sama dinas terkait, ormas dan LSM, rintisan daerah binaan pontren dan madin kepada masyarakat, pengiriman santri dan pengasuh studi magang, subsidi bantuan fisik dan KBM yakni hibah dan bantuan khusus. Pekan olah raga dan seni pontren yang belum berprestasi serta pelaporan dan administrasi pontren dan madin. "Kesemua ini belum terlaksana dengan baik. Ini menjadi problem kita semua. Untuk itu, harus ada solusi, agar pontren berkembang dan mandiri serta bersaing," jelas dia. (zrf)




Bupati Konawe Janji 31M untuk Keagamaan
Tuesday, Dec. 4, 2007 Posted: 12:12:09PM PST

Bupati Konawe, Sulawesi Tenggara, Dr Lukman Abunawas, akan mengalokasikan dana pendidikan keagamaan sebesar Rp 31 miliar untuk tahun 2007.

Dana tersebut digunakan untuk membangun sarana-sarana keagamaan seperti mesjid, pura maupun gereja, termasuk pembangunan gedung sekolah keagamaan, kata Lukman di Konawe, Jumat (30/11), seperti dikutip RRI.

Menurut dia, untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan terciptanya kerukunan antarsesama seagama dan antaragama diperlukan sarana prasarana pendidikan agama yang layak, seperti pondok pesantren.

Selain itu, pembangunan sejumlah rumah ibadah dan tempat pertemuan antarpemuka agama juga dilakukan, sehingga kerukunan antarumat beragama terus terjalin dengan baik.

"Kita inginkan daerah ini tetap aman dan keharmonisan antaragama tetap terjalin sehingga ancaman kerusuhan akibat perbedaan agama dapat dihindari," ujarnya.

Pihaknya berharap, dengan jumlah dana tersebut sarana dan prasarana ibadah serta kebutuhan keagamaan dapat tercapai.

Kaltim Usulkan Status dan Pengembangan STAIN Jadi IAIN
Selasa, 24 Februari 09 - oleh : admin
Jakarta, Pemprov Kaltim mengusulkan agar status Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) statusnya ditingkatkan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sekaligus pengembangan secara fisik yang telah disiapkan lahannya di Samarinda.

“Kami berharap status STAIN bisa ditingkatkan menjadi institut sebagai upaya meningkatkan sumber daya manusia melalui perguruan tinggi yang menjadi salah satu prioritas pembangunan Kaltim,” kata Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak saat memimpin jajaran Pemprov Kaltim menghadap Menteri Agama, Maftuh Basuni, di Jakarta, Rabu (18/2).

Dalam kesempatan itu, Awang juga menyampaikan berbagai program Kaltim yang terkait peningkatan kesejahteraan guru dan perlakuan Pemprov Kaltim yang tidak membedakan terhadap sekolah umum dan keagamaan.

Terkait tentang kesejahteran guru, kata Awang Kaltim sedang merancang aturan tentang pemberian insentif minimal Rp1 juta/bulan dengan harapan mampu memberikan tambahan pendapatan bagi guru.

“Kaltim bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Kaltim, termasuk kesejahteraan guru, sehingga tidak membedakan perlakuan terhadap sekolah umum maupun sekolah keagamaan,” tegasnya.

Awang juga mendukung sepenuhnya program Departemen Agama untuk membangun pesantren terpadu di kawasa perbatasan, tepatnya di Pulau Sebatik, Nunukan guna menampung anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Negeri Jiran Malaysia.

Menurut dia, selama ini ribuan anak TKI di kawasan perbatasan kesulitan untuk sekolah, sehingga dikhawatrikan berdampak pada tingkat pendidikan yang rendah serta mengurangi rasa nasionalisme akibat tidak mengenyam pendidikan Indonesia.

Dengan berdirinya pesantren terpadu itu, diharapkan anak-anak TKI dapat mengenyam pendidikan umum maupun keagamaan sehingga diharapkan mampu dididik baik secara keilmuan maupun moral keagamaan.

Selain sekolah di perbatasan, Awang juga mengatakan atas bantuan Depag, di Kaltim juga akan dibangun sekolah Madrasah Internasional yang rencananya di Samarinda dan Kabupaten Paser.

Sementara itu, Menteri Agama Maftuh Basuni menyambut baik upaya Kaltim meningkatkan sumber daya manusia dan tidak membedakan perlakuan terhadap sekolah umum dan keagamaan.

Diakuinya masih ada sejumlah daerah yang merasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan keagamaan, sehingga tidak jarang banyak sekolah keagamaan di satu daerah kondisinya memperihatinkan.

Berbeda dengan Kaltm yang sudah menetapkan memberikan perlakuan yang sama kepada pendidikan umum dan keagamaan sehingga lembaga pendidikan di daerah lebih terjamin nasibnya karena mendapat perhatian dari daerah dan pusat.

“Saya harap sikap Kaltim ini, menjadi contoh bagi daerah lain sehingga lembaga pendidikan keagamaan di daerah juga berkembang lebih cepat layaknya lembaga sekolah umum lain,” ujarnya.

Berkaitan dengan peningkatan status STAIN menjadi IAIN, menurut Maftuh tidak ada masalah selama memenuhi persyaratan yang telah digariskan, yakni paling tidak memiliki tiga fakultas dan masing-masong fakultas memiliki tiga jurusan yang juga masing-maing mempunyai dua program studi.

Dengan persayaratan itu, maka peningkatan status STAIN menjadi IAIN dengan syarakat paling tidak memiliki 12 program studi yang dilengkapi dengan 12 orang dosesn bergelar doktor (S3).

”Selama STAIN Samarinda sudah memenuhi persyaratan itu, maka peningkatan status bisa dilakukan, apalagi rencananya akan dikembangkan lebih besar lagi dengan tersedianya lahan,” ujarnya.(KaltimProv.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar