Rabu, 15 April 2009

pendidikan khusus (5)

Pendidikan khusus
DUNIA KAMPUS
SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS
Tangani Anak di Daerah Sulit



Rabu, 19 Juli 2006
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul. (Tri Wahyuni)


Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna


Kristianto Purnomo
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya TNI Subandrio memeriksa anggota pasukan TNI AU saat upacara bendera peringatan Hari Ulang Tahun TNI Angkatan Udara ke-62 di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4). Peringatan HUT TNI AU ini berlangsung sederhana tanpa atrksi akrobatik.
/

Selasa, 9 Desember 2008 | 19:31 WIB
JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).
Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).
Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.
Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung,


IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita [Agama dan Pendidikan]
Hj Harwini Joesoef:
IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita

BERTEPATAN dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember 2008, civitas Institut Ilmu Al-Qur\'an (IIQ) mendapat anugerah besar bahwa di Kampus II Terpadu IIQ Pamulang dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa). Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan Rusunawa dan kaitannya dengan pendidikan tinggi khusus wanita ini, wartawan Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan IIQ, Hj Harwini Joesoef.

Peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa IIQ bertepatan dengan Hari Ibu, bisa Ibu jelaskan?
Perlu diketahui bahwa Institut Ilmu Al-Qur\'an sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang takhassus membidangi Al-Qur\'an dan ilmu-ilmu Al-Qur\'an lainnya, dari sejak awal berdirinya memang berkomitmen mengutamakan kepentingan pendidikan wanita. Karena menurut pandangan kami bahwa wanita merupakan pendidik utama dan tiang pembangunan yang kuat dan kokoh baik bagi kepentingan pembangunan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.
Untuk itu, sangat wajar jika peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa di Kampus IIQ ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Saya sebagai wanita pun menyadari, perjuangan membekali kaum wanita, khususnya di bidang ke-Qur\'an-an tidak mudah. Dituntut keridhaan dan keikhlasan. Begitu juga mahasiswi IIQ dituntut selain dapat membaca Al-Qur\'an dengan baik dan tartil serta menghafal Al-Quran, mereka juga mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Quran.
Bagaimana tanggapan Ibu tentang dibangunnya Rusunawa ini?
Tentunya bagi kami, khususnya civitas akademika IIQ sangat gembira dan bangga memiliki Rusunawa. Rusunawa ini sangat berarti dan pembangunannya sudah lama dinanti-nantikan oleh para wanita penghafal Al-Qur\'an, khususnya di lingkungan Kampus IIQ. Menghafal Al-Qur\'an di tempat yang tenang, baik dan rapi juga akan menambah kenyamanan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Pembangunan Rusunawa berkapasitas 400 orang itu seluruhnya ditanggung oleh Menpera. Kami hanya menyediakan lahan seluas 1.000 m2, mengurus IMB, izin tata ruang, dan mebel, seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Pembangunan Rusunawa tersebut akan selesai dalam waktu empat bulan.
IIQ, Sabtu (27/12) besok mewisuda lulusannya, bisa Ibu jelaskan?
Ya, kami akan mewisuda lulusan IIQ Jakarta baik S-1 maupun S-2. Jumlahnya sekitar 150 orang di Wisma Syahida Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat. Diharapkan dalam wisuda tersebut hadir Menteri Agama H Muhammad Maftuh Basyuni, Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, Dewan Penyantun IIQ seperti H Try Sutrisno, H Muhammad Sudomo, RS Museno, Rektor IIQ Dr KH Ahsin Sakho, dan Sekretaris Umum Yayasan IIQ H Azhari Baedlawie, MM.
Apa harapan Ibu ke depan?
Kami berharap tetap dapat berkiprah di Yayasan IIQ dan selalu turun memantau keberadaan IIQ yang memang sejak didirikannya bertujuan membina para wanita muslimah dan berusaha mencetak ulama yang hafal dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur\'an, memiliki wawasan luas, berakhlak mulia, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami pun sangat menyadari bahwa proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud, kiranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itu, tentu membutuhkan tekad dan upaya yang kuat, disertai dengan keikhlasan, kedisiplinan, dan sikap konsisten dalam perjuangan. (sidik m nasir)
Landasan Hukum Pendidikan Khusus untuk CI/BI
Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa di Indonesia memiliki landasan hukum sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :
a. Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
b. Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
c. Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 52, “anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.
PP No. 72/1991, tentang Pendidikan Luar Biasa
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
Keputusan Mendiknas No. 053/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Mendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
Peraturan Mendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Peraturan Mendiknas no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Pendidikan.

Pendidikan Khusus Untuk Anak Berbakat, Perlukah?
Kita pernah bahkan sering mendengar atau melihat anak-anak unggul (gifted) yang memiliki suatu kemampuan yang sangat menonjol pada usia yang sangat muda. Di televisi ditampilkan anak-anak yang memiliki ingatan luar biasa pada usia prasekolah. Belakangan juga sering ditunjukkan anak-anak dengan kemampuan musik luar biasa pada usia yang relatif muda. Sayangnya untuk berikutnya tidak ditelusuri bagaimana perkembangan anak-anak yang dulunya dikenal sebagai anak unggul. Ke mana perginya mereka? Apakah keberbakatannya meluntur ataukah memang sebetulnya mereka tidak tergolong sebagai anak unggul, atau ada faktor lain yang membuat keberbakatannya tidak berkembang secara optimal?
Kita seringkali bingung membedakan antara bakat (aptitude) dengan keberbakatan (giftedness). Orangtua bertanya: Anak saya IQ-nya tinggi sekali dan dapat menghafal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Apakah ia termasuk anak unggul? Anak saya pintar main piano dan sudah ikut kursus bertahun-tahun sejak kecil tapi kok belum jadi maestro juga? Sebetulnya dia itu berbakat atau tidak sih?
Konsep tentang keberbakatan dengan bakat memang seringkali rancu. Sebenarnya keberbakatan tidak sama dengan bakat. Renzulli, seorang ahli di bidang keberbakatan, mengatakan bahwa keberbakatan mensyaratkan lebih dari sekedar kemampuan yang unggul dalam satu atau lebih bidang. Selain kemampuan yang luar biasa dalam bidangnya, diperlukan kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (motivasi internal) agar seorang anak dapat dikatakan sebagai anak unggul (gifted). Jadi anak yang memiliki bakat (kemampuan bawaan sejak lahir) dalam satu bidang belum tentu termasuk anak unggul (gifted) dalam bidang tersebut karena ia belum tentu kreatif dan belum tentu ulet dan tekun dalam menghadapi berbagai rintangan agar dapat menyelesaikan tugasny
Mengingat anak unggul sudah memiliki kemampuan bawaan sejak lahir, apakah itu berarti ia dapat mengembangkan keberbakatannya dengan sendirinya? Pandangan tentang keberbakatan erat sekali hubungannya dengan pandangan tentang kecerdasan. Dulunya kecerdasan dipandang sebagai hasil factor bawaan saja. Kemudian berkembang teori-teori yang menyatakan bahwa kecerdasan merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Sejalan dengan hal ini, beberapa ahli, seperti Gagne dan Tannenbaum menekankan pada pentingnya interaksi faktor bawaan dan lingkungan dalam mengembangkan keberbakatan, bahkan dipertimbangkan juga faktor kesempatan.
Keberbakatan tadinya hanya meliputi kemampuan intelektual yang tinggi. Namun beberapa ahli menambahkan bahwa kemampuan tersebut tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual umum saja, tetapi meliputi berbagai kemampuan lain seperti: kemampuan akademik khusus, berpikir kreatif produktif, kepemimpinan, seni, dan psikomotorik.
Konsep di atas menunjukkan bahwa keberbakatan merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensi. Hanya sayangnya dalam identifikasi anak unggul seringkali aspek multidimensi ini dilupakan, sehingga dalam proses seleksi cenderung menekankan pada kemampuan intelektual umum (hasil tes IQ) saja. Selain itu dalam proses identifikasi seringkali terlewatkan anak-anak unggul yang tidak berprestasi sesuai kemampuannya (underachieve) karena alat identifikasi yang digunakan hanya dapat mendeteksi kemampuan yang sudah terwujud, bukannya potensi keberbakatan yang ada.
Dalam praktiknya, pengertian anak berbakat menurut Depdiknas yang menjadi acuan untuk identifikasi anak berbakat dalam program percepatan belajar yang dicanangkan pemerintah mulai tahun ajaran 2001/2002 dibatasi pada: mereka yang mempunyai taraf inteligensi di atas 140 atau mereka yang oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan mempunyai kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas dan mempunyai keterikatan terhadap tugas yang tergolong baik, serta kreativitas yang memadai
Dalam masyarakat pun berkembang pemahaman bahwa anak-anak yang prestasinya sangat menonjol itulah yang tergolong anak unggul. Mereka yang tidak mampu mewujudkan potensinya dalam bentuk prestasi tidak dianggap sebagai anak unggul. Konsep keberbakatan seperti ini akan merugikan anak-anak unggul yang berprestasi dibawah kemampuannya (gifted underachievers) yang tidak mampu menunjukkan keberbakatannya karena lingkungan tidak memberikan dukungan yang sesuai baginya. Relakah kita kehilangan anak-anak yang sebenarnya sangat berbakat itu hanya karena kita tidak mampu mengenali dan memberikan penanganan yang tepat bagi mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar