Rabu, 15 April 2009

pendidikan informal (5)

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)














Pendidikan Informal Banyak Gagal
Evaluasi dan Audit Penyelenggaraan
Pontianak,- Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.

Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.

“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.

Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.

“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.

Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.

“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.

Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia. (riq)

< Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.

Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.

“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.

Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.

“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.

Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.

“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.

Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia. (riq)




































HomeSchooling


Apaan seh homeschooling atau home education itu?

Homeschool, atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Paham ini mungkin terlihat sedikit nyeleneh karena sementara semua orang menyekolahkan anaknya di sekolah umum, kok ada ya orang yang menyekolahkan anaknya di rumah. Bukankah itu sama saja dengan tidak sekolah. Pemikirin seperti ini terjadi karena ada sebuah proses ahistoris (terpotong dari sejarah) yang melupakan bahwa dulu sekolah memang di mulai dari rumah. Baru kemudian setelah guru menjadi sebuah profesi tertentu sekolah mulai berpindah ke sebuah gedung yang dinamai sekolah.

Sekarang, homeschooling mengalami comeback terutama di Amerika Serikat. Perubahan ini terjadi karena dunia pendidikan juga mengalami perubahan dalam abad terakhir ini, yaitu semakin sentralnya lembaga pendidikan di tangan negara. Homeschool adalah sebuah reaksi atas perubahan itu.

Bila dikategorikan, alasan-alasan untuk melakukan homeschool bisa dituliskan seperti ini:

1. Sekolah tidak mengajarkan iman yang benar kepada anak saya. Terus terang ini sering menjadi alasan utama orang tua untuk men-sekolahrumah-kan anaknya. Paling tidak 80% penggiat homeschool di Amerika adalah golongan ini. Mereka ada penganut Kristen Evangelis dan Fundamentalis yang tidak ingin anaknya diajarkan sains yang bertentangan dengan kitab suci.
2. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah bobrok. Banyak bullying di sekolah. Guru-guru juga tidak bisa mendidik dengan baik, malah membuat anak stress. Belum lagi kalau sekolahnya suka tawuran dan rawan kriminalitas. Untuk kasus Indonesia, kemungkinan besar mereka menyekolahkan anaknya karena alasan ini, karena kecewa dengan lembaga pendidikan di sini.
3. Tidak setuju dengan filosofi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Sekitar 10% penggiat homeschooling di Amerika memiliki pandangan ini. Mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di rumah saja, dengan pendekatan pendidikan yang mereka sukai.
4. Orang tua ingin mengambil tanggung jawab penuh atas pendidikan anaknya. Alasan ini sebenarnya bisa saja merupakan penjelasan lain dari ketiga alasan di atas.

Ada beberapa keberatan akan sekolah di rumah yang biasa dikemukakan orang:

1. Orang tua bukan guru profesional, bagaimana bisa mereka mendidik anaknya.
2. Anak-anak nantinya tidak bisa bersosialisasi karena tidak bergaul dengan anak-anak sebayanya di sekolah.
3. Tidak tahu harus memakai kurikulum apa.
4. Biaya untuk membeli buku menjadi lebih besar karena tidak bisa meminjam buku dari sekolah.

Saya mencoba untuk menjernihkan keempat keberatan di atas.

Pertama, semua orang yang lebih tua sebenarnya adalah guru bagi yang lebih muda. Tidak ada orang yang tidak bisa mengajar. Semua orang yang bisa membaca bisa mengajar orang lain membaca. Begitu pula dengan berhitung dan lain-lain. Tetapi bagaimana dengan ilmu-ilmu yang sulit seperti fisika dan kimia? Di sinilah terletak kesalahpahamannya. Homeschooling bukan berarti orang tua mengajar anak, melainkan orang tua belajar bersama anak. Jadi tidak ada keharusan bahwa orang tua harus menguasai materi pelajaran. Kalau ada kesulitan dalam menguasai materi, bantuan bisa dicari kemudian.

Kedua, sekolah di rumah tidak berarti sang anak harus dikurung di rumah. Anak tetap bisa bebas bermain dengan tetangga, atau malah disekolahkan di sekolah non-formal yang lain seperti sekolah musik atau sekolah olahraga.

Ketiga, sekarang, dengan kemudahan teknologi informasi, akses akan kurikulum dapat diperoleh dengan mudah. Kelompok-kelompok orang tua yang menjalankan homeschooling juga sudah mulai bermunculan.

Keempat, biaya untuk homeschooling malah bisa lebih rendah, karena tidak harus keluar biaya gedung, seragam, uang transpor dan jajan. Memang belanja buku di awal akan terlihat besar, namun bila dibagi pertahun akan jauh lebih murah dari biaya sekolah total.

Yang patut diperhatikan adalah homeschooling menuntut tanggung jawab yang besar dari orang tua akan perkembangan anaknya. Ini adalah komitmen yang tidak mudah, apalagi untuk orang kota. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjalankan homeschool saya bisa memberikan beberapa saran ini:

1. Yakinkah Anda, bahwa Anda akan memprioritaskan waktu dan tenaga Anda untuk pendidikan anak Anda?
2. Carilah informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan. Kalau bisa malah ngobrol dengan orang yang sudah menjalankannya.
3. Cek di Dinas Pendidikan daerah Anda apakah anak Anda bisa mendapatkan ijasah formal atau persamaan dan bagaimana caranya, sebab ini berkaitan dengan kelanjutan studi anak Anda di jenjang yang lebih tinggi.
4. Jangan memaksa anak untuk homeschool, berikan pengertian kepada dia. Jika ia lebih suka sekolah formal, biarkan saja. Kecuali bila anak sudah lebih besar, Anda bisa lebih memberikan pertimbangan lebih banyak kepada anak Anda, karena ia sudah bisa diajak berdialog dan berdebat bila perlu.
Dipandang dari sisi positif dan negatifnya, Homeschooling memiliki beberapa pertimbangan penting. Dilihat dari sisi positifnya yang pertama homeschooling mengakomodasi potensi kecerdasan anak secara maksimal karena setiap anak memiliki keberagaman dan kekhasan minat, bakat, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Potensi ini akan bisa dikembangkan secara maksimal bila keluarga memfasilitasi suasana belajar yang mendukung di rumahnya sehingga anak didik benar-benar merasa at home dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang bersifat informal dan sangat dipengaruhi faktor emosional. Dengan metode homeschooling ini anak didik tidak lagi dibatas oleh empat tembok kelas yang sesak dan mereka bisa memilih tema pembelajaran yang diinginkan mereka.

Yang kedua, metode ini mampu menghindari pengaruh lingkungan negati yang mungkin akan di hadapi oleh anak di sekolah umum. Pergaulan bebas, tawuran, rokok dan obat-obat terlarang menjadi momok yang terus menghantui para orangtua, sementara mereka tak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu.

Dilihat dari sisi negatifnya, yang pertama, dikhawatirkan siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul. Kekhawatiran ini disanggah oleh Dhanang Sasongko Sekjen Asah Pena (Asosiasi Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mengatakan bahwa adanya sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyakat. Untuk mengatasi problem ini sering diadakan kegitan di luar seperti ke pasar dan panti-panti. Metode Sekolah-Rumah bukan berarti belajarnya di rumah terus tetapi bisa juga di luar rumah yang penting dalam pembelajan anak didik merasa at home atau krasan dan senang dengan tema pembelajaran yang diikutinya. Sehingga pembelajaran bisa berjalan alami dan mandiri.

Yang kedua, Persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah-rumah ini? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: ”Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang.

Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaelawati Rumindasari menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah-rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah-rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar,teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B(setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU).

Maraknya model pendidikan alternatif diantaranya homeschooling ini perlu ditimbang sebagai partisipasi masyarakat dalam perluasan akses pendidikan dan perbaikan metode pembelajaran formal-konvensional yang cenderung bersifat kaku dan membosankan. Rasanya tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih baik pendidikan formal atau informal.

Sementara ini ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.































Pendidikan Bukan Hanya di Sekolah
>> 05 MARET 2009
Mendengar kata sekolah, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu umumnya memang ditujukan pada suatu sistem atau lembaga dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan dan sebagainya.
Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, atau schola (latin), kata itu secara harfiyah berarti waktu luang atau waktu senggang. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada bapak bangsa Inggris yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam asal mula bahasa kita sekarang?
Ukuran dan jenis sekolah bervariasi tergantung dari sumber daya dan tujuan penyelenggara sekolah. Sebuah sekolah mungkin sangat sederhana dimana sebuah lokasi tempat bertemu seorang pengajar dan beberapa peserta didik, atau mungkin, sebuah kompleks bangunan besar dengan ratusan ruang dengan puluhan ribu tenaga kependidikan dan peserta didiknya.
Ada hal menarik dalam Al-Quran, yaitu bahwa qadla (keputusan atau dekrit) Tuhan tentang kewajiban manusia menghormati ibu bapaknya diberikan sebagai persoalan kedua setelah kewajiban bertauhid atau tidak menyembah sesuatu apapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan itu juga diikuti dengan pesan-pesan agar manusia jangan sampai berucap kasar pada ibu bapaknya itu, jika salah seorang atau kedua-duanya telah mencapai usia lanjut, maka hendaknya kita bersikap lemah lembut, penuh kasih sayang sebagaimana mereka telah mendidik kita sewaktu kecil.
Namun bila kedua orang itu memaksakan sesuatu yang tidak dapat diterima kebenarannya, misalnya, sikap mempersekutukan Tuhan atau syirik, maka mereka tidak boleh ditaati. Akan tetapi, masih kewajiban kepada kita untuk berbuat baik kepada mereka.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa peran orang tua menjadi tak tergantikan oleh siapapun juga. Hal ini tidak hanya berlaku bagi muslim tetapi juga bagi kaum kristiani yang dalam banyak hal memiliki banyak persamaan ajaran atau doktrin sepanjang menyangkut peran orang tua.
Peran strategis orang tua itu tidak saja bermakna bagi anaknya. Posisi orang tua yang demikian itu juga memberikan tanggung jawab atau beban dalam hal mendidik anaknya. Jadi, peran pendidikan punya sangkutan dengan kesediaan belajar. Orang tua atau siapa saja akan mampu menjalankan tugas dengan baik kalau punya pengetahuan yang memberinya deretan pilihan atau alternatif. Maka dari itu orang tualah yang paling mempengaruhi pendidikan anaknya, karena dasar pendidikan itu adalah mengetahui karakter si anak tersebut. Lalu bisakah seorang anak dipasrahkan kepada orang lain yang tidak mengetahui karakter si anak didik tersebut? Apalagi pendidik pengganti (baca: guru) tersebut acuh terhadap anak didiknya yang lebih mementingkan gaji yang bersifat individual.
Mayarakat sekarang agaknya sudah salah persepsi, mereka lebih berpendapat bahwa sekolahlah yang mendidik para pelajar. Padahal sekolah hanyalah sebuah lembaga yang termanajemen saja. Jadi jelas bahwa bukanlah sekolah yang mendidik melainkan para pendidik atau guru yang berikatan bersama dengan sekolah. Pendidik –katakanlah guru¬¬¬¬¬–– adalah figur utama bagi para pelajar sebagai pendidik pengganti dari orang tua. Dan dalam hal mendidik anak didik itu tidak harus selalu memakai seragam, sepatu dan duduk di bangku sekolah (formal). Para pendidik bisa saja memberikan pendidikan yang berarti di luar sekolah entah itu di taman, lapangan, rumah, bahkan taman hiburan (informal). Jadi untuk mendapatkan pendidikan, kita jangan terpaku pada sekolah. Sebaliknya, kita harus mandiri untuk menjadi orang yang kreatif.





















KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR
Kategori: Umum (372 kali dibaca)
Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.
Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman. (T.Ad/id) (red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar