Rabu, 15 April 2009

pendidikan menengah (5)

Pendidikan menengah


SEKOLAH BUAT APA SIH?
SAYA DAPAT APA SIH DARI SEKOLAH?


Banyak pihak mengemukakan sinyalemen bahwa sebagian besar tamatan pendidikan dasar dan menengah umum (bahkan juga tamatan pendidikan tinggi), bahkan pendidikan tinggi tidak dapat terserap ke dalam dunia kerja atau lapangan kerja yang ada. Kesempatan kerja dan lapangan kerja yang ada [sebagaimana tampak pada iklan-iklan lowongan kerja di mesia massa] tidak dapat mereka masuki. Ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, jumlah angkatan kerja yang hanya tamatan pendidikan dasar dan menengah umum serta pendidikan tinggi jauh lebih besar daripada kesempatan dan lapangan kerja yang ada. Rasio kesempatan kerja yang terbuka tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Kedua, angkatan kerja tamatan pendidikan dasar dan menengah umum serta pendidikan tinggi kalah bersaing dengan angkatan kerja tamatan pendidikan menengah khusus dan pendidikan profesional dalam memasuki lapangan kerja. Kecakapan yang mereka punyai sangat minim atau terbatas. Wajar mereka tak mampu bersaing di pangsa pasar kerja, apalagi membuka dan menciptakan lapangan kerja. Ketiga, kecakapan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas khususnya dunia kerja yang ada di masyarakat tidak sesuai dan cocok dengan kecakapan yang dimiliki tamatan pendidikan dasar dan menengah umum. Di sini terjadi ketakrelevanan dan ketaksesuaian antara apa yang dimiliki oleh angkatan kerja dan kecakapan yang diperlukan oleh masyarakat luas khususnya kesempatan kerja yang ada di masyarakat luas. Wajarlah kalau keunggulan komparatif, apalagi keunggulan kompetitif, tidak dipunyai oleh para lulusan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Selain itu, berbagai kenyataan juga menunjukkan bahwa sekarang pendidikan yang baik dan bermutu tidak selalu berkorelasi dengan kesejahteraan duniawi yang tinggi, penghidupan yang layak, dan pekerjaan yang sepadan. Keyakinan umum bahwa pendidikan berkorelasi positif dan signifikan bagi kehidupan seseorang sekarang tampak tidak lebih dari ilusi atau mimpi. Di Indonesia, ada fenomena bahwa penghidupan yang layak dan jenis pekerjaan yang sepadan dapat dicapai tanpa melalui pendidikan tertentu atau tidak banyak ditentukan oleh jenjang dan mutu pendidikan yang dimiliki oleh seseorang. Orang bisa mendapat penghidupan yang layak dan pekerjaan yang baik justru tanpa bekal pendidikan yang memadai dan cocok. Tak heran, Winarno Surakhmad berkomentar keras bahwa “manusia Indonesia, di luar kemampuan akal sehat, dapat memperoleh tingkat kesejahteraan duniawi yang luar biasa baiknya bukan saja tanpa melalui pendidikan yang tersedia, tetapi juga melalui proses yang anti-pendidikan” (2002). Hal ini dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu, pertama, faktor pendidikan tidak menjadi variabel utama dalam pengangkatan tenaga kerja di Indonesia karena pendidikan dianggap bukan penentu utama kualitas tenaga kerja; dan kedua, adanya distorsi-distorsi atau penyimpangan-penyimpangan sistemis dan sistematis dalam pengangkatan (rekrutmen) tenaga kerja. Akibatnya, kemungkinan bekerja atau hidup dengan kesejahteraan dan penghidupan yang layak antara orang yang berpendidikan dan orang yang kurang (tak) berpendidikan relatif sama. Ini semua mengimplikasikan betapa rendah urgensi dan kemanfaatan pendidikan bagi kehidupan seseorang. Dari sinilah bisa timbul pameo yang bunyinya kurang lebih begini: Buat apa sekolah, nanti ujung-ujungnya juga menganggur, padahal sudah banyak biaya dikeluarkan. Lebih baik langsung berkerja, langsung dapat uang.
Keadaan kontradiktif tersebut timbul akibat adanya empat kecenderungan utama penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah umum [juga pendidikan tinggi] di Indonesia selama ini. Pertama, pendidikan dasar dan menengah (umum) serta pendidikan tinggi memang dirancang (didesain) berdasarkan paradigma kebutuhan tingkat tinggi (high based-education) dan sekolah berorientasi akademis-intelektual. Karena itu, siswa pendidikan dasar dan menengah umum serta pendidikan tinggi memang tidak pernah disiapkan untuk memasuki lapangan kerja – apalagi membuka dan menciptakan lapangan kerja – pada waktu belajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah (umum); mereka disiapkan untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya yang berwatak akademis atau dunia-kehidupan intelektual. Struktur dan isi kurikulum serta program pembelajaran yang dikembangkan di pendidikan dasar dan menengah umum serta pendidikan tinggi terlalu padat pengetahuan teoretis-akademis; orientasinya teoretis-akademis semata. Kedua, sistem pembelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi mengabaikan – malah cenderung menyepelekan – kecakapan (techne atau praxis) yang perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh para siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pembelajaran diorientasikan pada kegiatan olah otak semata sehingga sangat memberat pada tuntutan akademis atau intelektual, seolah-olah semua tamatan pendidikan dasar dan menengah (umum) serta pendidikan tinggi mempunyai kemampuan intelektual yang homogen dan pasti akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah umum dan kehidupan intelektual Ketiga, akibat kecenderungan pertama dan kedua, sekolah pada umumnya tidak memiliki – apalagi mengembangkan – suatu program penapis atau bimbingan karier alternatif yang dapat membekali siswa dengan kecakapan tertentu di samping kemampuan akademis. Sekolah baik SD/MI maupun SLTP/MTs dan SMU/MA, bahkan perguruan tinggi yang ada hanya memiliki satu orientasi tunggal, yaitu orientasi teoretis-akademis sebagaimana ditunjukkan oleh kebijakan dan program sekolah. Ini kemudian menimbulkan persepsi babwa sekolah yang beorientasi teoretis-akademis kuat adalah sekolah yang unggul dan baik. Adapun keempat, sekolah pada umumnya tidak dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari secara antisipatoris sehingga seolah-olah sekolah terlepas dan terpisah dari dunia sekelilingnya. Masyarakat, dunia kerja, dan dunia kehidupan sehari-hari (lebenswelt) jarang sekali dikaji dan hasilnya dijadikan dasar pengambilan kebijakan sekolah. Tak heran, sinkronisasi, sinergi, dan komplementasi program dan hasil pendidikan persekolahan dengan dunia sekeliling khususnya dunia kerja dan masyarakat praktis tidak berlangsung. Lebih lanjut, hal ini terkesan merupakan suatu diskontinuitas, disorientasi, dan dislokasi dengan dunia di luar sekolah atau masyarakat. Oleh karena itu, wajarlah kalau dunia di luar sekolah tidak melihat dan memperhitungkan hasil pendidikan persekolahan sebagai variabel utama yang ikut menetukan secara signifikan keberhasilan hidup dan kehidupan. (Oleh Djoko Saryono)

Bubarnya Pendidikan Sekolah Menengah
with 11 comments
Maaf kalau judul postingan kali ini agak keras. Tulisan ini juga merupakan postingan lanjutan dari tulisan saya tahun lalu mengenai PSB (Penerimaan Siswa Baru), khususnya Kota Bandung. Semenjak berubahnya sistem NEM menjadi UAN, UAS, atau whatever-lah, Menurut saya, ini adalah awal kehancuran pendidikan sekolah tingkat menengah (SMP dan SMA). Mengapa? Sistem saat ini benar-benar kacau, nilai hasil UAN tidak dapat dipertanggungjawabkan. Nilai rata-rata anda 8 sudah tidak berguna. Mau masuk SMA Negeri aja luntang-lantung.
Menurut anda apakah nilai 80 dari 100 atau 8 dari 10 cukup besar? (Mohon umpan balik pembaca sekalian). Bagi saya, Iya! Sangat besar. Jujur saja, cukup sulit memperoleh nilai 80, apalagi di bangku kuliah (80 bisa dapet A coy!). Sayangnya, nilai 8 dari 10 tersebut sangat tidak berguna sekali apabila teman-teman masih sekolah. Sangat menyedihkan bukan? (udah dapat nilai gede..Eh, taunya gak kepake..cape deh!).
Saya bukannya tidak bangga akan kualitas pendidikan di negeri ini yang cenderung meningkat(?). Hal ini terlihat dari meningkatnya rata-rata nilai UAN. Namun, rasanya masih tidak logis apabila sangat banyak sekali orang yang memperoleh nilai hampir sempurna. Apalagi terdapat rumor fakta yang menyatakan adanya SMS kunci jawaban UAN SMP dan SMA di Kota Bandung. Diatas kertas, pendidikan di negeri ini memang meningkat. Pada kenyataannya ini adalah kebrobrokan luar biasa.
Bagaimana menurut bapak-bapak pejabat Pendidikan Nasional sekalian? Ingin menghancurkan bangsa ini atau memajukan bangsa ini? Sebaiknya ubah sistem sekarang yang terlalu rawan kecurangan. Apalagi katanya 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bangkitlah dengan Kejujuran!



REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama
Oleh : Ruslan Andy Chandra


KabarIndonesia - Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawab kan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit. PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas, Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat.

"Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran, " katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit. PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas, Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. "Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid," katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp. 45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. "Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah," katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. "REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli," katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA, Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan


Ditulis oleh Berita Jakarta/Dikmenti Selasa, 21 Oktober 2008
Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi”
- Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

luncurkan

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros
Selasa, 06 Juni 2006 | 00:24 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.

Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.

BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.

BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar.

"Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.

Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.

Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.

Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.

Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."

Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.

Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA.

"Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar