Rabu, 15 April 2009

pendidikan layanan khusus (5)

Pendidikan layanan khusus

LP3M Laksanakan Pendidikan Layanan Khusus
13 Februari 2009 — ismail
LP3M unismuh kerjasama dengan Diknas menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi anak nelayan di Desa Aeng Batu-Batu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang anak putus sekolah yang dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas setingkat SMA dan kelas untuk tingkatan SMP.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pengetahuan anak-anak nelayan yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Namanya saja pelayanan khusus, jadwalnya juga dibuat khusus yaitu hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dilaksankaan selama 6 kali pertemuan yang materinya meliputi bidang studi matematika, agama, ekonomi, biologi, dan bidang studi lainnya berdasarkan kebutuhan daerah setempat.
Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.


Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana
Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).
SENYUM SIMPUL SISWA SLB KARTINI : MENJELANG IMPIAN YANG KINI NYATA

Kini semua anak berkebutuhan khusus yang ada di lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia bisa tersenyum lega manatap masa depan pendidikannya. Tidak terkecuali anak-anak yang ada di SLB Kartini. Sebab saat ini pemerintah telah melaksanakan program pendidikan inklusi secara nasional. Pidato Presiden RI tanggal 2 Mei 2005 pada saat memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menegaskan komitmennya untuk memulai sistem pendidikan inklusi secara nasional.
Dalam sistem Pendidikan inklusi, berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual . sosial emisional, linguistic atau kondisi jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah – pindah, atau kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak – anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.
Pelaksanaan sistem pendidikan inklusi secara nasional adalah sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 Sistem pendidikan nasional Indonesia (Sisdiknas), khususnya pasal 32 :
ayat (1) :Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Untuk percepatan pelaksanaan sistem pendidikan inklusi secara nasional, pemerintah melalui Direktorat Pembinaa Sekolah Luar Biasa (PSLB) mengembangkan beberapa Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (Sentra PK/PLK).
Melalui sentra ini anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di SLB sekarang ini bisa mendapatkan layanan pendidikan berkualitas dan skill sebagaimana anak-anak normal pada umumnya.

SLB KARTINI JADI SENTRA PK/PLK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Dengan keterbatasan dana yang ada, Ketua Yayasan Keluarga Batam (YKB): Ny. Sri Soedarsono (akrab disapa Bu Dar) memberanikan diri untuk memindahkan dan membangun gedung sekolah SLB Kartini di lokasi baru. Kondisi sekolah SLB lama dirasa sudah tidak begitu layak.
Pembangunan gedung sekolah baru SLB dimaksudkan untuk memberikan layanan terbaik kepada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sesuai dengan tuntutan dan harapan dunia internasional. Meskipun agak tersendat, karena terbatasnya dana pembangunan yang dimiliki yayasan, akhirnya gedung sekolah SLB kini telah dapat digunakan.
Kini anak-anak SLB Kartini dapat tersenyum ceria menempati gedung yang tampak megah di lokasi komplek Sumber Agung Sei. Jodoh Batam. Anak-anak ABK pun kini bisa belajar berdampingan satu lokasi dengan TK Kartini II, SD Kartini II, dan SMP Kartini II. Barangkali inilah langkah awal penerapan sistem pendidikan inklusi, di mana anak-anak ABK sudah dapat bergaul bersama dalam satu lokasi tanpa adanya pembedaan.
Selanjutnya, melalui surat nomor: 517/C6/DS/2006 tertanggal 6 Juli 2006, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa menunjuk SLB Kartini Batam menjadi Sentra

PK/PLK di wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dalam beberapa kesempatan ketika berkinjung ke SLB Kartini, Direktur PSLB menyatakan, bahwa sebagai Sentra PK/PLK Provinsi Kepri, SLB Kartini akan kembangkan menjadi tempat diklat anak-anak ABK, khususnya dalam bidang tata boga, tata busana, dan tata rias.
Sementara itu, dalam kesempatan yang lain, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bapak Prof. Br. Bambang Sudibyo yang juga pernah mengunjungi SLB Kartini telah memberikan beberapa arahan untuk kemajuan pendidikan dan percepatan pendidikan inklusi di Batam, khususnya tentang SLB Kartini Batam yang menjadi ikon sentra PK/PLK di wilayah provinsi Kepri.
Bapak Menteri juga menegaskan tentang pentingnya mewujudkan komitmen Deklarasi Dakar (2000) tentang program ”Education For All” (Pendidikan Untuk Semua), yaitu:


1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.

Selanjutnya, SLB yang telah memperoleh kepercayaan menjadi sentra PK/PLK di provinsi Kepri ini terus melakukan pembenahan dan perbaikan manajemen layanan kepada para ABK. Sebagai bukti bahwa SLB Kartini juga berkomitmen untuk mewujudkan program pendidikan untuk semua, saat ini tengah dilakukan beberapa program terobosan guna melaksanakan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).
Sesuai dengan amanat UU Sisdiknas, bahwa PLK adalah layanan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Adapun program PLK yang saat ini sedang dilaksanakan adalah :
1. Program Layanan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah yang terjerumus dalam perbuatan tindak pidana sehingga menjadi penghuni Lapas. Anak-anak tersebut tentunya tetap berhak mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana mestinya. Program ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Kepri dan Lapas Batam.
2. Program layanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Sebab, fenomena anak jalanan yang ada di Batam, meskipun jumlahnya tidak begitu besar, seperti halnya di kota Jakarta, Bandung dan Semarang, keberadaannya tetap memerlukan penanganan cermat dalam bentuk pembinaan dan pemberdayaan. Apa lagi kota Batam di kenal sebagai pintu masuk keluar negeri, seperti ke Singapura dan Malaysia, sehingga praktek perdagangan anak untuk keperluan bisnis sangat rentan terjadi. Program ini dilaksanakan oleh SLB Kartini bekerjasama dengan Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB) Cabang Batam.
3. Program layanan pendidikan bagi anak-anak yang berada di hinterland. Program ini sangat penting, sebab banyak anak yang berada di pulau-pulau terpencil belum menerima layanan pendidikan sebagaimana mestinya. Program ini dilaksanakan bekerjasama dengan KKKS Kota Batam.


Meskipun program-program PLK tersebut belum optimal dilaksanakan, paling tidak program ini diharapkan menjadi motivator bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya dunia usaha yang berkomitmen membantu layanan pendidikan. Dengan kondisi serba terbatas SLB Kartini berusaha memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
Usaha dan terobosan yang dilaksanakan oleh SLB Kartini patut kita acungi jempol. Tidaklah berlebihan kalau SLB ini memperoleh sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2000, dan bahkan menjadi salah satu Sentra PK/PLK teladan dari Direktorat PSLB.
Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah, kini SLB Kartini telah memiliki sarana prasarana dan fasilitas lengkap, seperti peralatan dan bahan praktek untuk pelatihan bidang tata boga, tata busana, dan tata rias. Selain itu SLB Kartini juga dilengkapi fasilitas perpustakaan yang menyediakan koleksi buku, majalah dan tabloit. Tersedia juga buku dalam bentuk soft copy atau layanan perpustakaan digital.
Di bawah bimbingan dan asuhan guru-guru yang berpengalaman anak-anak SLB dapat menikmati layanan pendidikan secara terkontrol. Pola pembelajaran di SLB tentu berbeda dengan pola pembelajaran di sekolah umum. Sebab penanganan anak-anak ABK pada umumnya lebih sulit karena adanya keterbatasan dalam bidang-bidang tertentu.
Dengan diterapkannya sistem inklusi ini, bukan tidak mungkin nantinya ada anak-anak ABK dapat belajar sekelas dengan anak-anak normal, khususnya dalam mata pelajaran tertentu yang memungkinkan. Itu artinya, guru-guru umum yang selama ini mengajar anak-anak normal harus juga mampu bagaimana menangani anak-anak ABK bila sistem kelas inklusi ini diterapkan.
Yayasan Keluarga Batam (YKB) bekerjasama dengan pihak luar, selalu berusaha memberikan diklat kepada guru-guru umum yang ada di lingkungan Sekolah Kartini tentang bagaimana menangani anak-anak ABK. Kelihatannya program ini terasa berat, namun usaha ini harus dilakukan selangkah demi selangkah. Sebab, ke depan sekolah Kartini harus bisa menjadi profil sekolah inklusi, di Batam dan di wilayah provinsi Kepri pada umumnya.
PK dan PLK Terkendala Keterbatasan Guru 10/12/2007 08:53:21
YOGYA (KR) - Implementasi Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) terkendala keterbatasan guru dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, karena guru juga sekaligus tenaga pengelola unit. Hal ini berakibat pada kurang optimalnya penanganan anak. Selain itu, rata-rata guru berbasis penanganan anak luar biasa, jadi minim pengetahuan menangani PLK.
"Sehingga bila dihadapkan dengan anak-anak yang memerlukan PLK seperti anak jalanan, anak pemulung, kebanyakan belum siap dan masih perlu pelatihan tentang pendidikan itu," tegas Muh Basuni MPd, dari Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Yogyakarta, Sabtu (8/12), di Kampus FIP UNY pada seminar nasional bertema 'Pendidikan Khusus versus Pendidikan Layanan Khusus'.
Seminar diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY, sebagai rangkaian peringatan hari Penyandang Cacat Internasional. Hadir pula sebagai pembicara, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Drs Sutji Harijanto MM MPd dan Ishartiwi dari Jurusan PLB FIP UNY.
Ditegaskan, dengan sentra PK dan PLK, diharapkan dukungan pemerintah terus ditingkatkan, terutama dalam subsidi dana pengelolaan lembaga anak berkebutuhan khusus. Penting pula dukungan dari dunia usaha dan industri untuk bisa menerima anak berkebutuhan khusus sebagai tenaga kerja sesuai kompetensi yang dimiliki. "Akademisi juga diharapkan menciptakan teori baru untuk pelayanan dan penanganan anak berkebutuhan khusus," tegas Basuni.
Dikatakan, sentra PK dan PLK salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan pendidikan luar biasa. Juga sebagai usaha untuk membawa masyarakat memahami lebih jauh tentang dunia pendidikan luar biasa. Tujuannya, menciptakan inklusifitas lebih dini dengan melakukan peningkatan pembelajaran ketrampilan, peningkatan kualitas produksi standar, kemampuan memasarkan produk ketrampilan dan sebagai pusat informasi layanan PK dan PLK.
"Sentra PK dan PLK merupakan terobosan pengembangan kelembagaan yang bermuara pada kemandirian anak, sehingga siap memasuki pasar kerja," papar Basuni.
Ditambahkan, mengimplementasikan sentra PK dan PLK, bisa berharap banyak terhadap perubahan dalam penanganan anak luar biasa. Sehingga, anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan sama untuk memperoleh pelayanan dan penanganan optimal. Mereka tak hanya dibekali ilmu teoretis, namun juga memiliki kompetensi ketrampilan sesuai kemampuan.
"Di samping itu, masyarakat agar lebih terbuka dalam memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh kehidupan layak tanpa ada segregasi," tambahnya. (Ben)-m

pendidikan khusus (5)

Pendidikan khusus
DUNIA KAMPUS
SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS
Tangani Anak di Daerah Sulit



Rabu, 19 Juli 2006
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul. (Tri Wahyuni)


Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna


Kristianto Purnomo
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya TNI Subandrio memeriksa anggota pasukan TNI AU saat upacara bendera peringatan Hari Ulang Tahun TNI Angkatan Udara ke-62 di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4). Peringatan HUT TNI AU ini berlangsung sederhana tanpa atrksi akrobatik.
/

Selasa, 9 Desember 2008 | 19:31 WIB
JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).
Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).
Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.
Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung,


IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita [Agama dan Pendidikan]
Hj Harwini Joesoef:
IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita

BERTEPATAN dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember 2008, civitas Institut Ilmu Al-Qur\'an (IIQ) mendapat anugerah besar bahwa di Kampus II Terpadu IIQ Pamulang dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa). Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan Rusunawa dan kaitannya dengan pendidikan tinggi khusus wanita ini, wartawan Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan IIQ, Hj Harwini Joesoef.

Peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa IIQ bertepatan dengan Hari Ibu, bisa Ibu jelaskan?
Perlu diketahui bahwa Institut Ilmu Al-Qur\'an sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang takhassus membidangi Al-Qur\'an dan ilmu-ilmu Al-Qur\'an lainnya, dari sejak awal berdirinya memang berkomitmen mengutamakan kepentingan pendidikan wanita. Karena menurut pandangan kami bahwa wanita merupakan pendidik utama dan tiang pembangunan yang kuat dan kokoh baik bagi kepentingan pembangunan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.
Untuk itu, sangat wajar jika peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa di Kampus IIQ ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Saya sebagai wanita pun menyadari, perjuangan membekali kaum wanita, khususnya di bidang ke-Qur\'an-an tidak mudah. Dituntut keridhaan dan keikhlasan. Begitu juga mahasiswi IIQ dituntut selain dapat membaca Al-Qur\'an dengan baik dan tartil serta menghafal Al-Quran, mereka juga mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Quran.
Bagaimana tanggapan Ibu tentang dibangunnya Rusunawa ini?
Tentunya bagi kami, khususnya civitas akademika IIQ sangat gembira dan bangga memiliki Rusunawa. Rusunawa ini sangat berarti dan pembangunannya sudah lama dinanti-nantikan oleh para wanita penghafal Al-Qur\'an, khususnya di lingkungan Kampus IIQ. Menghafal Al-Qur\'an di tempat yang tenang, baik dan rapi juga akan menambah kenyamanan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Pembangunan Rusunawa berkapasitas 400 orang itu seluruhnya ditanggung oleh Menpera. Kami hanya menyediakan lahan seluas 1.000 m2, mengurus IMB, izin tata ruang, dan mebel, seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Pembangunan Rusunawa tersebut akan selesai dalam waktu empat bulan.
IIQ, Sabtu (27/12) besok mewisuda lulusannya, bisa Ibu jelaskan?
Ya, kami akan mewisuda lulusan IIQ Jakarta baik S-1 maupun S-2. Jumlahnya sekitar 150 orang di Wisma Syahida Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat. Diharapkan dalam wisuda tersebut hadir Menteri Agama H Muhammad Maftuh Basyuni, Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, Dewan Penyantun IIQ seperti H Try Sutrisno, H Muhammad Sudomo, RS Museno, Rektor IIQ Dr KH Ahsin Sakho, dan Sekretaris Umum Yayasan IIQ H Azhari Baedlawie, MM.
Apa harapan Ibu ke depan?
Kami berharap tetap dapat berkiprah di Yayasan IIQ dan selalu turun memantau keberadaan IIQ yang memang sejak didirikannya bertujuan membina para wanita muslimah dan berusaha mencetak ulama yang hafal dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur\'an, memiliki wawasan luas, berakhlak mulia, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami pun sangat menyadari bahwa proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud, kiranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itu, tentu membutuhkan tekad dan upaya yang kuat, disertai dengan keikhlasan, kedisiplinan, dan sikap konsisten dalam perjuangan. (sidik m nasir)
Landasan Hukum Pendidikan Khusus untuk CI/BI
Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa di Indonesia memiliki landasan hukum sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :
a. Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
b. Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
c. Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 52, “anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.
PP No. 72/1991, tentang Pendidikan Luar Biasa
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
Keputusan Mendiknas No. 053/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Mendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
Peraturan Mendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Peraturan Mendiknas no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Pendidikan.

Pendidikan Khusus Untuk Anak Berbakat, Perlukah?
Kita pernah bahkan sering mendengar atau melihat anak-anak unggul (gifted) yang memiliki suatu kemampuan yang sangat menonjol pada usia yang sangat muda. Di televisi ditampilkan anak-anak yang memiliki ingatan luar biasa pada usia prasekolah. Belakangan juga sering ditunjukkan anak-anak dengan kemampuan musik luar biasa pada usia yang relatif muda. Sayangnya untuk berikutnya tidak ditelusuri bagaimana perkembangan anak-anak yang dulunya dikenal sebagai anak unggul. Ke mana perginya mereka? Apakah keberbakatannya meluntur ataukah memang sebetulnya mereka tidak tergolong sebagai anak unggul, atau ada faktor lain yang membuat keberbakatannya tidak berkembang secara optimal?
Kita seringkali bingung membedakan antara bakat (aptitude) dengan keberbakatan (giftedness). Orangtua bertanya: Anak saya IQ-nya tinggi sekali dan dapat menghafal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Apakah ia termasuk anak unggul? Anak saya pintar main piano dan sudah ikut kursus bertahun-tahun sejak kecil tapi kok belum jadi maestro juga? Sebetulnya dia itu berbakat atau tidak sih?
Konsep tentang keberbakatan dengan bakat memang seringkali rancu. Sebenarnya keberbakatan tidak sama dengan bakat. Renzulli, seorang ahli di bidang keberbakatan, mengatakan bahwa keberbakatan mensyaratkan lebih dari sekedar kemampuan yang unggul dalam satu atau lebih bidang. Selain kemampuan yang luar biasa dalam bidangnya, diperlukan kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (motivasi internal) agar seorang anak dapat dikatakan sebagai anak unggul (gifted). Jadi anak yang memiliki bakat (kemampuan bawaan sejak lahir) dalam satu bidang belum tentu termasuk anak unggul (gifted) dalam bidang tersebut karena ia belum tentu kreatif dan belum tentu ulet dan tekun dalam menghadapi berbagai rintangan agar dapat menyelesaikan tugasny
Mengingat anak unggul sudah memiliki kemampuan bawaan sejak lahir, apakah itu berarti ia dapat mengembangkan keberbakatannya dengan sendirinya? Pandangan tentang keberbakatan erat sekali hubungannya dengan pandangan tentang kecerdasan. Dulunya kecerdasan dipandang sebagai hasil factor bawaan saja. Kemudian berkembang teori-teori yang menyatakan bahwa kecerdasan merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Sejalan dengan hal ini, beberapa ahli, seperti Gagne dan Tannenbaum menekankan pada pentingnya interaksi faktor bawaan dan lingkungan dalam mengembangkan keberbakatan, bahkan dipertimbangkan juga faktor kesempatan.
Keberbakatan tadinya hanya meliputi kemampuan intelektual yang tinggi. Namun beberapa ahli menambahkan bahwa kemampuan tersebut tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual umum saja, tetapi meliputi berbagai kemampuan lain seperti: kemampuan akademik khusus, berpikir kreatif produktif, kepemimpinan, seni, dan psikomotorik.
Konsep di atas menunjukkan bahwa keberbakatan merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensi. Hanya sayangnya dalam identifikasi anak unggul seringkali aspek multidimensi ini dilupakan, sehingga dalam proses seleksi cenderung menekankan pada kemampuan intelektual umum (hasil tes IQ) saja. Selain itu dalam proses identifikasi seringkali terlewatkan anak-anak unggul yang tidak berprestasi sesuai kemampuannya (underachieve) karena alat identifikasi yang digunakan hanya dapat mendeteksi kemampuan yang sudah terwujud, bukannya potensi keberbakatan yang ada.
Dalam praktiknya, pengertian anak berbakat menurut Depdiknas yang menjadi acuan untuk identifikasi anak berbakat dalam program percepatan belajar yang dicanangkan pemerintah mulai tahun ajaran 2001/2002 dibatasi pada: mereka yang mempunyai taraf inteligensi di atas 140 atau mereka yang oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan mempunyai kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas dan mempunyai keterikatan terhadap tugas yang tergolong baik, serta kreativitas yang memadai
Dalam masyarakat pun berkembang pemahaman bahwa anak-anak yang prestasinya sangat menonjol itulah yang tergolong anak unggul. Mereka yang tidak mampu mewujudkan potensinya dalam bentuk prestasi tidak dianggap sebagai anak unggul. Konsep keberbakatan seperti ini akan merugikan anak-anak unggul yang berprestasi dibawah kemampuannya (gifted underachievers) yang tidak mampu menunjukkan keberbakatannya karena lingkungan tidak memberikan dukungan yang sesuai baginya. Relakah kita kehilangan anak-anak yang sebenarnya sangat berbakat itu hanya karena kita tidak mampu mengenali dan memberikan penanganan yang tepat bagi mereka?

pendidikan keagamaan (5)

Pendidikan keagamaan
Sabtu, 18 Maret 2000

Pendidikan Satu Atap
Oleh Masykuri Abdillah & Mastuki HS


GAGASAN tentang pendidikan nasional di bawah satu atap, yang berarti penghilangan "dualisme" penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti praktik selama ini, sebenarnya bukan suatu hal baru. Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983) pernah mengemukakan gagasan ini, yang berarti bahwa semua lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemimpin dan organisasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekuralisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Di samping itu, umat Islam, yang pada waktu itu termarjinalisasi secara politis, berpikir bahwa keberadaan pendidikan keagamaan bukan hanya sekadar bentuk kelembagaan, tetapi juga merupakan simbolisme politik Islam di Indonesia.
Selang 20 tahun kemudian gagasan itu kembali muncul, yang dikemukakan oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Memang Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan perlunya pendidikan nasional dalam satu atap, namun kebijakannya tentang perubahan nama Depdikbud menjadi Depdiknas dapat menjadi indikasi ke arah penyatuatapan ini. Kali ini gagasan penyatuan pendidikan nasional ini disambut biasa-biasa saja, dalam arti tidak ada penolakan keras maupun penerimaan dengan penuh kegembiraan. Tiadanya penolakan ini bisa jadi karena Mendiknas Dr Yahya Muhaimin, dan Menag KH Tolchah Hasan adalah sama-sama berasal dari organisasi Islam besar (Muhammadiyah dan NU), sehingga para tokoh Islam tidak khawatir akan munculnya sekularisasi pendidikan. Di samping itu, umat Islam kini sudah berada dalam center of power, sehingga pendidikan keagamaan di bawah Depag bukan merupakan satu-satunya ekspresi simbolisme politik Islam.
Pada dataran fisolofis, gagasan dasar Gus Dur dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan paradigmatis yang selama ini dirasa menggelayuti sistem pendidikan nasional. Diterimanya prinsip "dualisme-dikotomik" yang memisahkan dan membedakan "ilmu agama" dan "ilmu umum", sebagian diakibatkan oleh dualisme penyelenggaraan pendidikan ini. Dualisme ini bahkan membawa ekses munculnya persepsi bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan pada dataran praksis, hal ini telah melahirkan penyelenggaraan pendidikan yang "tidak adil" antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan. Sebagai contoh, indeks biaya pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibanding di sekolah umum, meski sejak awal tahun 1990-an telah terjadi kenaikan secara bertahap. Pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per siswa MIN (Ibtidaiyah) adalah Rp 19.000,- sedangkan SDN Rp 100.000,- (1:5,2), MTsN (Tsanawiyah) Rp 33.000,- sedangkan SMPN Rp 46.000,- (1:1,4), sedangkan SMUN Rp 67.000,- (1:1,3), dan IAIN Rp 50.000,- sedangkan UN/Institut Negeri Rp 150.000,- (1:3). Perbedaan ini akan sangat timpang jika perhitungan indeks biaya ini mengikutsertakan juga madrasah/sekolah swasta, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta dan umumnya di bawah standar. Hal semacam ini ternyata masih terjadi sampai kini (tahun anggaran 2000), meski sudah ada political will presiden, yang notabene berlatar pendidikan keagamaan, untuk mewujudkan kesetaraan di antara keduanya.
Perbedaan tersebut tentu berakibat pada tingkat kualitas pendidikan keagamaan yang secara umum di bawah pendidikan umum. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan keagamaan (madrasah dan perguruan tinggi agama), serta upaya-upaya untuk mengatasinya, termasuk gagasan penyatuatapan semua pendidikan di bawah sistem pendidikan nasional. Hanya bahasan ini lebih difokuskan pada pendidikan keagamaan Islam tingkat dasar dan menengah (madrasah), yang jumlah siswanya mencapai 15 persen dari keseluruhan jumlah siswa tetapi sampai kini masih menghadapi sejumlah permasalahan yang serius.
PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.
"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.
Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.
Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.
Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.
Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.
"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.
Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.
Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.
Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim. n S-1

Senin, 24 Mei 2004
Pesantren Harus Berkualitas
Sambas,- Pesantren hendaknya berkualitas, mandiri dan berdaya saing dan kuat kedudukannya dalam system pendidikan nasional, sehingga menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat, pembentukan santri sebagai muslim dan warga negara yang bertanggungjawab. Demikian diungkapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas,Drs H Jawani Usman ketika memberikan materi pada pembinaan Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Muhammad Basuni Imran Sambas, Selasa (18/5).

Visi pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata dia, terwujudnya pesantren yang berkualitas, mendiri dan berdaya saing. "Sedangkan misinya adalah, peningkatan mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, peningkatan mutu pondok pesantren salafiyah, memperkuat kerjasama pada lembaga terkait, pemberdayaan dan pengembangan santri serta memberikan pelayanan pondok pesantren berkompetensi," jelas Jawani.

Sedangkan program strategis pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata Jawani, system kendali mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan unsure instrumental, dan penguatan kelembagaan yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional. Selain itu, jelasnya, system penyelenggaraan wajib belajar dasar pada pesantren salafiyah, pengambangan potensi dan pemberdayaan pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan jaringan kerjasama dengan pemerintah, ormas dan LSM, serta pengembangan bakat dan minat serta kesejahteraan santri itu sendiri.

Problematika pendidikan keagamaan pondok pesantren di Kabupaten Sambas, kata Jawani, pemetaan pontren dan madin, pengembangan system informasi pendidikan keagamaan pontren, wajar dinas pendidikan salafiyah status dan kualitas pontren, madin dan ma'had aly. Selain itu, jelasnya, jaringan kerja sama dinas terkait, ormas dan LSM, rintisan daerah binaan pontren dan madin kepada masyarakat, pengiriman santri dan pengasuh studi magang, subsidi bantuan fisik dan KBM yakni hibah dan bantuan khusus. Pekan olah raga dan seni pontren yang belum berprestasi serta pelaporan dan administrasi pontren dan madin. "Kesemua ini belum terlaksana dengan baik. Ini menjadi problem kita semua. Untuk itu, harus ada solusi, agar pontren berkembang dan mandiri serta bersaing," jelas dia. (zrf)

< Pesantren hendaknya berkualitas, mandiri dan berdaya saing dan kuat kedudukannya dalam system pendidikan nasional, sehingga menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat, pembentukan santri sebagai muslim dan warga negara yang bertanggungjawab. Demikian diungkapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas,Drs H Jawani Usman ketika memberikan materi pada pembinaan Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Muhammad Basuni Imran Sambas, Selasa (18/5).

Visi pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata dia, terwujudnya pesantren yang berkualitas, mendiri dan berdaya saing. "Sedangkan misinya adalah, peningkatan mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, peningkatan mutu pondok pesantren salafiyah, memperkuat kerjasama pada lembaga terkait, pemberdayaan dan pengembangan santri serta memberikan pelayanan pondok pesantren berkompetensi," jelas Jawani.

Sedangkan program strategis pendidikan keagamaan pondok pesantren, kata Jawani, system kendali mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan unsure instrumental, dan penguatan kelembagaan yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional. Selain itu, jelasnya, system penyelenggaraan wajib belajar dasar pada pesantren salafiyah, pengambangan potensi dan pemberdayaan pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan jaringan kerjasama dengan pemerintah, ormas dan LSM, serta pengembangan bakat dan minat serta kesejahteraan santri itu sendiri.

Problematika pendidikan keagamaan pondok pesantren di Kabupaten Sambas, kata Jawani, pemetaan pontren dan madin, pengembangan system informasi pendidikan keagamaan pontren, wajar dinas pendidikan salafiyah status dan kualitas pontren, madin dan ma'had aly. Selain itu, jelasnya, jaringan kerja sama dinas terkait, ormas dan LSM, rintisan daerah binaan pontren dan madin kepada masyarakat, pengiriman santri dan pengasuh studi magang, subsidi bantuan fisik dan KBM yakni hibah dan bantuan khusus. Pekan olah raga dan seni pontren yang belum berprestasi serta pelaporan dan administrasi pontren dan madin. "Kesemua ini belum terlaksana dengan baik. Ini menjadi problem kita semua. Untuk itu, harus ada solusi, agar pontren berkembang dan mandiri serta bersaing," jelas dia. (zrf)




Bupati Konawe Janji 31M untuk Keagamaan
Tuesday, Dec. 4, 2007 Posted: 12:12:09PM PST

Bupati Konawe, Sulawesi Tenggara, Dr Lukman Abunawas, akan mengalokasikan dana pendidikan keagamaan sebesar Rp 31 miliar untuk tahun 2007.

Dana tersebut digunakan untuk membangun sarana-sarana keagamaan seperti mesjid, pura maupun gereja, termasuk pembangunan gedung sekolah keagamaan, kata Lukman di Konawe, Jumat (30/11), seperti dikutip RRI.

Menurut dia, untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan terciptanya kerukunan antarsesama seagama dan antaragama diperlukan sarana prasarana pendidikan agama yang layak, seperti pondok pesantren.

Selain itu, pembangunan sejumlah rumah ibadah dan tempat pertemuan antarpemuka agama juga dilakukan, sehingga kerukunan antarumat beragama terus terjalin dengan baik.

"Kita inginkan daerah ini tetap aman dan keharmonisan antaragama tetap terjalin sehingga ancaman kerusuhan akibat perbedaan agama dapat dihindari," ujarnya.

Pihaknya berharap, dengan jumlah dana tersebut sarana dan prasarana ibadah serta kebutuhan keagamaan dapat tercapai.

Kaltim Usulkan Status dan Pengembangan STAIN Jadi IAIN
Selasa, 24 Februari 09 - oleh : admin
Jakarta, Pemprov Kaltim mengusulkan agar status Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) statusnya ditingkatkan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sekaligus pengembangan secara fisik yang telah disiapkan lahannya di Samarinda.

“Kami berharap status STAIN bisa ditingkatkan menjadi institut sebagai upaya meningkatkan sumber daya manusia melalui perguruan tinggi yang menjadi salah satu prioritas pembangunan Kaltim,” kata Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak saat memimpin jajaran Pemprov Kaltim menghadap Menteri Agama, Maftuh Basuni, di Jakarta, Rabu (18/2).

Dalam kesempatan itu, Awang juga menyampaikan berbagai program Kaltim yang terkait peningkatan kesejahteraan guru dan perlakuan Pemprov Kaltim yang tidak membedakan terhadap sekolah umum dan keagamaan.

Terkait tentang kesejahteran guru, kata Awang Kaltim sedang merancang aturan tentang pemberian insentif minimal Rp1 juta/bulan dengan harapan mampu memberikan tambahan pendapatan bagi guru.

“Kaltim bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Kaltim, termasuk kesejahteraan guru, sehingga tidak membedakan perlakuan terhadap sekolah umum maupun sekolah keagamaan,” tegasnya.

Awang juga mendukung sepenuhnya program Departemen Agama untuk membangun pesantren terpadu di kawasa perbatasan, tepatnya di Pulau Sebatik, Nunukan guna menampung anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Negeri Jiran Malaysia.

Menurut dia, selama ini ribuan anak TKI di kawasan perbatasan kesulitan untuk sekolah, sehingga dikhawatrikan berdampak pada tingkat pendidikan yang rendah serta mengurangi rasa nasionalisme akibat tidak mengenyam pendidikan Indonesia.

Dengan berdirinya pesantren terpadu itu, diharapkan anak-anak TKI dapat mengenyam pendidikan umum maupun keagamaan sehingga diharapkan mampu dididik baik secara keilmuan maupun moral keagamaan.

Selain sekolah di perbatasan, Awang juga mengatakan atas bantuan Depag, di Kaltim juga akan dibangun sekolah Madrasah Internasional yang rencananya di Samarinda dan Kabupaten Paser.

Sementara itu, Menteri Agama Maftuh Basuni menyambut baik upaya Kaltim meningkatkan sumber daya manusia dan tidak membedakan perlakuan terhadap sekolah umum dan keagamaan.

Diakuinya masih ada sejumlah daerah yang merasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan keagamaan, sehingga tidak jarang banyak sekolah keagamaan di satu daerah kondisinya memperihatinkan.

Berbeda dengan Kaltm yang sudah menetapkan memberikan perlakuan yang sama kepada pendidikan umum dan keagamaan sehingga lembaga pendidikan di daerah lebih terjamin nasibnya karena mendapat perhatian dari daerah dan pusat.

“Saya harap sikap Kaltim ini, menjadi contoh bagi daerah lain sehingga lembaga pendidikan keagamaan di daerah juga berkembang lebih cepat layaknya lembaga sekolah umum lain,” ujarnya.

Berkaitan dengan peningkatan status STAIN menjadi IAIN, menurut Maftuh tidak ada masalah selama memenuhi persyaratan yang telah digariskan, yakni paling tidak memiliki tiga fakultas dan masing-masong fakultas memiliki tiga jurusan yang juga masing-maing mempunyai dua program studi.

Dengan persayaratan itu, maka peningkatan status STAIN menjadi IAIN dengan syarakat paling tidak memiliki 12 program studi yang dilengkapi dengan 12 orang dosesn bergelar doktor (S3).

”Selama STAIN Samarinda sudah memenuhi persyaratan itu, maka peningkatan status bisa dilakukan, apalagi rencananya akan dikembangkan lebih besar lagi dengan tersedianya lahan,” ujarnya.(KaltimProv.go.id)

pendidikan anak usia dini (5)

Pendidikan Usia Dini Kurang Perhatian


Jakarta - Proses pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini kurang memberikan perhatian pada pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama PAUD nonformal. Padahal, PAUD merupakan pendidikan yang sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan secara komprehensif baik kecerdasan intelektual (otak kiri) maupun kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika (otak kanan) juga kinestika (fisik).
Mendiknas Bambang Sudibyo berjanji akan segera membakukan pendidikan PAUD ini menjadi program formal dalam sistem pendidikan. “Ini merupakan upaya menebus kesalahan masa lalu di mana selama puluhan tahun kita mengabaikan PAUD,” tutur Mendiknas usai membuka Semiloka Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Jumat (28/11).
Menurutnya, usia dini merupakan usia emas dalam perkembangan seorang anak, sebab 80 persen potensi kecerdasan komprehensif anak dapat dipicu agar berkembang secara pesat dan optimal pada masa tersebut. Sisanya 20 persen dapat dikembangkan setelah usia delapan tahun sampai dengan 20 tahun.
Fakta ini diperkuat dengan berbagai penelitian longitudinal (tracer studies) yang dilakukan oleh para ahli tentang pentingnya peranan PAUD bagi masa depan seseorang. Anak yang mengikuti PAUD dengan baik akan menjadi orang dewasa yang tangguh kecerdasan, fisik dan mentalnya, sehingga bisa menjadi manusia yang kreatif dan produktif serta tinggi tingkat kinerjanya. Anak yang mengikuti PAUD juga lebih siap mengikuti pendidikan di SD, mencegah putus sekolah dan siap mengikuti pendidikan jenjang berikutnya.
Meski PAUD menjadi level penting dalam proses pendidikan, Mendiknas tidak setuju adanya pembelajaran yang memaksa anak-anak usia dini terutama untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Hal terpenting dalam PAUD adalah pemberian stimulus (rangsangan) pada anak. “Anak yang besar dan berkembang dalam lingkungan yang kaya stimulan, kecerdasan otaknya akan berkembang lebih sempurna,” lanjutnya.
Karena itu, untuk mewujudkan sistem PAUD yang baik, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sektor terkait lainnya, mulai 2009 mengembangkan sistem PAUD yang holistik dan integratif. Dalam sistem ini, semua jenis stimulan yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan anak akan dipadukan dalam suatu sistem layanan yang utuh.
Selain itu, untuk meningkatkan pemerataan akses dan perluasan kesempatan mengikuti PAUD, Depdiknas akan memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik PAUD dari keluarga kurang mampu. Caranya dengan memprioritaskan pendirian lembaga-lembaga PAUD di tingkat kecamatan, pedesaan dan daerah terpencil. Data Depdiknas, dari 28,6 juta anak usia dini, baru 50,9 persen yang sudah terlayani PAUD baik formal maupun nonformal. Targetnya pada akhir 2009, angka partisipasi kasar PAUD mencapai 53,9 persen. (stevani elisabeth)



Copyright © Sinar Harapan 2008














Berlibur ke Rumah Pohon, Alternatif Pendidikan Usia Dini


Laporan Wartawan Kompas Adi Sucipto

PASURUAN, KOMPAS - Menikmati liburan ke hutan menjadi salah satu pilihan yang menarik. Bahkan minat untuk kembali alam atau back to nature ini bisa ditanamkan sejak usia dini. Hutan pinus yang berudara segar di Taman Dayu Pasuruan menawarkan liburan yang menyenangkan kepada Anda.
Menurut Bagian Pemasaran Taman Dayu Dewi Pohan pengunjung bisa menikati area seluas seluruhnya 600 hektar, 150 hektar diantaranya hutan pinus. "Kami melayani paket outbound, berkuda dengan pesona alam yang segar. Pengunjung bisa memilih menginap di tenda atau rumah pohon," tutur Dewi Minggu (20/5).
Bagi yang ingin merasakan serunya bermain perang-perangan dengan senjata beramunisi karet juga dilayani dengan program high impact dan paint ball. Pengunjung juga bisa bersepeda gunung atau menikmati jungle track.
Tinggal di rumah pohon dengan lampu minyak tanah menurut seorang pengunjung Salim serasa kembali ke zaman dulu. "Bedanya kalau dulu memang peradabannya demikian tinggal di rumah pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Tetapi saat ini orang sudah mapan malah ingin menikmati suasana lain," ujar Salim.


Pelatihan Pendidikan usia Dini (PAUD)


Dalam waktu dekat ini ada salah satu kegiatan yang akan dilakukan oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Nabire (IPMANAB) Se-Jabotabek dan Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Sebagai Koordinator akan mengadakan kegiatan seabgai lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang diadakan di Yogyakarta awal tahun ini juga.

Untuk itu siapa saja akan mengikuti kegiatan ini kami akan mengirimkan dan mengupdate di sini maka kepada rekan-rekan sekalian yang mau ikut kegiatan ini dapat mengdownload artikel yang berikut, setelah kami dapat jadwal dan jenis kegiatan yang akan dilakukan oleh Panitia.

Sementara yang berhubungan dengan kepanitian pada beberapa hari yang lalu telah dibentuk, yang diketuai oleh saudara Simon Degey

Sekian

Jack A. Dogomo
Peran Keluarga dalam Pendidikan Usia Dini
Naufal_arc
Fri, 18 Apr 2008 09:06:07 -0700
Peran Keluarga dalam Pendidikan Usia Dini

Oleh :

Najamuddin Muhammad
Peneliti pada Center For Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta

Salah satu tema yang belum banyak disentuh oleh pengamat dan praktisi
pendidikan adalah pentingnya pendidikan anak usia dini. Selama ini
banyak arus pembicaraan pendidikan yang terfokus pada wacana
pendidikan formal.

Padahal, menggalakkan wacana pendidikan anak usia dini tidak kalah
pentingnya. Pendidikan anak usia dini termasuk fondasi paling
fundamental bagi terbentuk dan terciptanya masa depan pendidikan
remaja yang lebih edukatif.

Anak-anak mempunyai perkembangan mental, spiritual, dan moral yang
potensial untuk dibangun. Pendidikan anak usia dini secara lebih
ekstrem adalah awal paling potensial dari pembentukan karakter
kepribadian dan jati diri.

Kalau dalam perjalanannya banyak perilaku nonedukatif yang dilakukan
oleh pelajar remaja, maka akar persoalannya tidak hanya bertumpu pada
faktor-faktor yang sudah berada pada eranya, tapi jauh lebih berperan
adalah faktor tidak adanya perhatian penuh semenjak anak usia dini.
Faktor yang demikian termasuk cukup dominan mengingat usia dini adalah
usia yang cukup potensial perkembangan kejiwaan anak dan seakan
menjadi cermin saat remaja.

Sebagaimana juga ditegaskan oleh Glueks (1986) bahwa remaja yang
berpotensi menjadi nakal dapat diidentifikasi sedini usia dua atau
tiga tahun karena perilaku antisosialnya. Pendidikan anak usia dini
adalah salah satu solusi paling fundamental untuk mengantisipasi
melonjaknya pelbagai persoalan kenakalan remaja.

Penyebab perilaku menyimpang, mulai dari seks bebas, pemakaian
narkoba, dan perilaku amoral lainnya adalah bobroknya bangunan mental
anak semenjak usia dini sehingga ketika menginjak usia remaja banyak
terkecoh oleh hal-hal yang negatif. Dengan demikian menggalakkan
pendidikan usia dini adalah solusi jangka panjang yang sangat mendesak
untuk segera diterapkan di tengah carut-marutnya moralitas kehidupan
para remaja.

Pendidikan anak usia dini yang sangat penting untuk segera digalakkan
adalah pada wilayah informal. Tapi, sebelum lebih praktis mengasuh
pendidikan anak usia dini dari pihak keluarga, terlebih dahulu kita
mengetahui peta perkembangan kejiwaan anak.

Bijou dalam bukunya Development in the Preschool Years A Fungsional
Analisis (1986) memetakan menjadi lima periode perkembangan, yakni
periode pralahir (pembuahan sampai lahir), masa neonatus (lahir dari
10-14 hari), masa bayi (dua minggu sampai dua tahun), masa kanak-kanak
(dua tahun sampai remaja) yang terdiri dari dua tahap, masa
kanak-kanak dini (dua sampai enam tahun) dan masa kanak-kanak akhir
(6-13 tahun), serta masa puber (11-16 tahun).

Peran keluarga
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap
masa depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan
pendidikan sudah dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak yang
belum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan merespons apa-apa yang
dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.

Tidak heran kemudian apabila anak yang dibesarkan dalam situasi dan
kondisi yang kurang membaik semasa masih dalam kandungan berpengaruh
terhadap kecerdasan anak ketika lahir. Begitu sebaliknya. Layaknya
Imam Syafi'i yang dalam jangka usia tujuh tahun sudah hafal Alquran.
Ini karena semasa dalam kandungan, ibunya sering menghafalkan dan
membacakan ayat-ayat Alquran.

Dengan demikian, pihak keluarga sejatinya banyak mengetahui
perkembangan-perkembangan anak. Pada saat anak masih dalam kandungan,
pihak orang tua harus lebih memperbanyak perkataan, perbuatan, dan
tindakan-tindakan yang lebih edukatif.

Ketika anak itu sudah lahir, maka tantangan terberat adalah bagaimana
orang tua dapat mengasihi dan menyayangi anak sesuai dengan dunianya.
Poin yang kedua ini ketika anak-anak (usia bayi hingga dua tahun)
mempunyai tahap perkembangan yang cukup potensial. Anak-anak mempunyai
imajinasi dengan dunianya yang bisa membuahkan kreativitas dan
produktivitas pada masa depannya.

Tapi, pada fase-fase tertentu banyak orang tua tidak memberikan
kebebasan untuk berekspresi, bermain, dan bertingkah laku sesuai
dengan imajinasinya. Banyak orang tua yang terjebak pada pembuatan
peraturan yang ketat. Ini memang tujuannya untuk kebaikan anak.

Pengekangan dan pengarahan menurut orang tua tidak baik untuk memompa
kecerdasan dan kreativitas anak. Bahkan, malah berakibat sebaliknya,
yakni anak-anak akan kehilangan dunianya sehingga daya kreativitas
anak dipasung dan dipaksa masuk dalam dunia orang tua. Paradigma
semacam inilah yang sejatinya diubah oleh pihak orang tua dalam proses
pendidikan anak usia dini.

Menarik salah satu pernyataan seorang pujangga Lebanon, Kahlil Gibran
(1883). "Anak kita bukanlah kita, pun bukan orang lain. Ia adalah ia.
Dan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Karena itu, memerlukan
sesuatu yang lain dengan yang kita butuhkan. Kita hanya boleh memberi
rambu-rambu penentu jalan dan menemaninya ikut menyeberangi jalan.
Kita bisa memberikan kasih sayang, tapi bukan pendirian. Dan sungguh
pun mereka bersamamu, tapi bukan milikmu.

Pernyataan tersebut cukup tepat untuk mewakili siapa sebenarnya
anak-anak kita dan bagaimana seharusnya kita berbuat yang terbaik
untuknya. Untuk itu pernyataan di atas sejatinya dijadikan referensi
dalam memandang anak-anak oleh keluarga, terutama orang tua, yang
ingin menjadikan anaknya berkembang secara kreatif, dinamis, dan
produktif.

Keluarga yang selama ini masih cenderung kaku dalam mendidik anaknya
pada masa kecil sejatinya diubah pada pola yang lebih bebas. Anak
adalah dunia bermain. Dunia anak adalah dunia di mana keliaran
imajinasi terus mengalir deras.

Anak sudah mempunyai dunianya tersendiri yang beda dengan orang
dewasa. Hanya dengan kebebasan bukan pengerangkengan anak-anak akan
bisa memfungsikan keliaran dan kreativitasnya secara lebih produktif.
Hanya dengan dunianya anak-anak akan mampu mengaktualisasikan segenap
potensi yang ada dalam dirinya.

Ikhtisar:
- Membangun kepribadian akan sangat efektif bila sejak dini.
- Masih banyak orang tua yang tak mampu mendidik anak dengan benar.
- Lingkungan pun akan sangat berpengaruh terhadap penciptaan karakter
dan kepribadian anak-anak.




Pendidikan Usia Dini bagi Warga Miskin


Ditulis Oleh Administrator
Friday, 29 February 2008
mendapatkan prioritas. Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini seorang anak mendapat stimulasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal.
Pemerintah pun menaruh perhatian besar terhadap hal tersebut. Terbukti, dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur masalah pendidikan anak. UU ini menegaskan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, serta kecerdasan.
Namun, kenyataannya, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan usia dini. Terutama bagi masyarakat miskin. Jangankan pendidikan usia dini, untuk menyekolahkan anak ke bangku sekolah dasar saja, banyak yang tidak mampu. Sadar akan masalah tersebut, BKM Sehati mencoba memberikan solusi dengan mendirikan playgroup gratis.

Playgroup yang mengkhususkan pada pendidikan usia dini ini diperuntukan bagi anak warga miskin. Setidaknya, ada 365 warga miskin yang menjadi target sasaran. Sebanyak 20 anak warga miskin berusia 4 - 6 tahun, mengikuti playgroup tahap pertama yang diselenggarakan dari bulan Februari hingga Juni 2007.
“Tahap awal ini, memang kita terlambat mengadakan playgroup, padahal akhir tahun ajaran jatuh pada bulan Juni. Karenanya, waktu pendidikan hanya beberapa bulan saja. Tahap kedua dan selanjutnya, proses pendidikan diselenggarakan selama satu tahun, sesuai dengan tahun ajaran pendidikan,” papar Koordinator BKM Sehati, sekaligus pengelola playgroup, Dolfie Pandara.
Dalam menyelenggarakan playgroup ini, BKM Sehati bekerjasama dengan SDN 86 Kelurahan Tumumpa Dua, Kota Manado. Pihak sekolah menyediakan salah satu ruang kelasnya secara cuma-cuma, untuk digunakan kegiatan playgroup.
Sebagai tenaga pengajar, BKM Sehati “menggandeng” Ibu Ribka Rahel Kobis, seorang pegawai negeri yang sehari-harinya mengajar di TK GMIM Torsina. “Setiap bulan kita memberi Ibu Ribka insentif sebesar Rp 400.000, yang diambil dari hasil dana bergulir,” jelas Dolfie.
Waktu kegiatan playgroup dimulai pukul 15.00 hingga 17.00 WITA, sebab di pagi hari ruangan digunakan oleh murid SDN 86 untuk belajar. “Kepala Sekolah SDN 86, Ibu Patinama, hanya menyediakan ruang kelas. Sedangkan, bangku dan meja plastik untuk siswa kita yang menyediakan,” ujar Dolfie.
BKM Sehati juga menyediakan seluruh keperluan proses belajar mengajar. Misalnya, paket buku pelajaran, alat-alat tulis, lemari buku, beragam mainan anak dan ayunan. Bagi siswa playgroup diberikan peralatan tulis menulis secara gratis. Dana pengadaan sarana belajar ini, menurut Dolfie, diambil dari uang Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 12,1 juta.
Saat ini, BKM Sehati tengah mempersiapkan pelaksanaan playgroup angkatan kedua. Rencananya, proses pendidikan akan dilaksanakan bulan September 2007 dengan jumlah peserta didik sebanyak 20 anak. Berbeda dengan angkatan pertama, proses belajar playgroup dilaksanakan selama satu tahun. Usia anak juga diturunkan menjadi minimal 3 tahun. “Proses pendaftarannya melalui ketua RT/RW setempat. Nanti setelah datanya diserahkan ke BKM, kita akan cek lagi apakah mereka benar berasal dari warga miskin,” kata Dolfie.
Tak hanya mengadakan playgroup gratis, BKM Sehati juga menyedikan taman baca di lokasi playgroup. Taman baca dibuat dengan tujuan menumbuhkan minat baca masyarakat. Selain itu, taman baca bisa dimanfaatkan para orang tua yang sedang menunggu anaknya belajar di playgroup.
Setidaknya lebih dari 30 judul buku dan majalah tersedia di taman bacaan. Namun, bahan bacaan tersebut hanya boleh dibaca di tempat dan tidak boleh dibawa pulang. Tujuannya, agar tidak hilang dan cepat rusak. “Kebanyakan buku dan majalah yang ada, berkaitan dengan kewanitaan. Karena, memang taman bacaan ini dikhususkan bagi ibu-ibu dari warga miskin yang menunggu anaknya belajar di playgroup,” kata Dolfie.
Adapun BKM Sehati dibentuk sejak 19 Juni 2005, dan disahkan oleh notaris pada 7 Juli 2005. Saat ini anggota BKM Sehati berjumlah 13 orang, dengan komposisi dua perempuan dan 11 laki-laki. Total dana BLM yang telah diterima dalam tiga tahap adalah sebesar Rp 450 juta.
Ke depannya, BKM Sehati berencana akan lebih mengembangkan pusat kegiatan belajar masyarakat melalui kegiatan kelompok bermain, kelas belajar, taman bacaan masyarakat, kursus komputer, melukis dan warnet. Semoga rencana tersebut segera terealisir. (Tim Sosialisasi KMP-2 P2KP/KMW V PNPM P2KP-2 Manado; Nina)

pendidikan informal (5)

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)














Pendidikan Informal Banyak Gagal
Evaluasi dan Audit Penyelenggaraan
Pontianak,- Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.

Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.

“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.

Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.

“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.

Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.

“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.

Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia. (riq)

< Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.

Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.

“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.

Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.

“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.

Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.

“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.

Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia. (riq)




































HomeSchooling


Apaan seh homeschooling atau home education itu?

Homeschool, atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Paham ini mungkin terlihat sedikit nyeleneh karena sementara semua orang menyekolahkan anaknya di sekolah umum, kok ada ya orang yang menyekolahkan anaknya di rumah. Bukankah itu sama saja dengan tidak sekolah. Pemikirin seperti ini terjadi karena ada sebuah proses ahistoris (terpotong dari sejarah) yang melupakan bahwa dulu sekolah memang di mulai dari rumah. Baru kemudian setelah guru menjadi sebuah profesi tertentu sekolah mulai berpindah ke sebuah gedung yang dinamai sekolah.

Sekarang, homeschooling mengalami comeback terutama di Amerika Serikat. Perubahan ini terjadi karena dunia pendidikan juga mengalami perubahan dalam abad terakhir ini, yaitu semakin sentralnya lembaga pendidikan di tangan negara. Homeschool adalah sebuah reaksi atas perubahan itu.

Bila dikategorikan, alasan-alasan untuk melakukan homeschool bisa dituliskan seperti ini:

1. Sekolah tidak mengajarkan iman yang benar kepada anak saya. Terus terang ini sering menjadi alasan utama orang tua untuk men-sekolahrumah-kan anaknya. Paling tidak 80% penggiat homeschool di Amerika adalah golongan ini. Mereka ada penganut Kristen Evangelis dan Fundamentalis yang tidak ingin anaknya diajarkan sains yang bertentangan dengan kitab suci.
2. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah bobrok. Banyak bullying di sekolah. Guru-guru juga tidak bisa mendidik dengan baik, malah membuat anak stress. Belum lagi kalau sekolahnya suka tawuran dan rawan kriminalitas. Untuk kasus Indonesia, kemungkinan besar mereka menyekolahkan anaknya karena alasan ini, karena kecewa dengan lembaga pendidikan di sini.
3. Tidak setuju dengan filosofi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Sekitar 10% penggiat homeschooling di Amerika memiliki pandangan ini. Mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di rumah saja, dengan pendekatan pendidikan yang mereka sukai.
4. Orang tua ingin mengambil tanggung jawab penuh atas pendidikan anaknya. Alasan ini sebenarnya bisa saja merupakan penjelasan lain dari ketiga alasan di atas.

Ada beberapa keberatan akan sekolah di rumah yang biasa dikemukakan orang:

1. Orang tua bukan guru profesional, bagaimana bisa mereka mendidik anaknya.
2. Anak-anak nantinya tidak bisa bersosialisasi karena tidak bergaul dengan anak-anak sebayanya di sekolah.
3. Tidak tahu harus memakai kurikulum apa.
4. Biaya untuk membeli buku menjadi lebih besar karena tidak bisa meminjam buku dari sekolah.

Saya mencoba untuk menjernihkan keempat keberatan di atas.

Pertama, semua orang yang lebih tua sebenarnya adalah guru bagi yang lebih muda. Tidak ada orang yang tidak bisa mengajar. Semua orang yang bisa membaca bisa mengajar orang lain membaca. Begitu pula dengan berhitung dan lain-lain. Tetapi bagaimana dengan ilmu-ilmu yang sulit seperti fisika dan kimia? Di sinilah terletak kesalahpahamannya. Homeschooling bukan berarti orang tua mengajar anak, melainkan orang tua belajar bersama anak. Jadi tidak ada keharusan bahwa orang tua harus menguasai materi pelajaran. Kalau ada kesulitan dalam menguasai materi, bantuan bisa dicari kemudian.

Kedua, sekolah di rumah tidak berarti sang anak harus dikurung di rumah. Anak tetap bisa bebas bermain dengan tetangga, atau malah disekolahkan di sekolah non-formal yang lain seperti sekolah musik atau sekolah olahraga.

Ketiga, sekarang, dengan kemudahan teknologi informasi, akses akan kurikulum dapat diperoleh dengan mudah. Kelompok-kelompok orang tua yang menjalankan homeschooling juga sudah mulai bermunculan.

Keempat, biaya untuk homeschooling malah bisa lebih rendah, karena tidak harus keluar biaya gedung, seragam, uang transpor dan jajan. Memang belanja buku di awal akan terlihat besar, namun bila dibagi pertahun akan jauh lebih murah dari biaya sekolah total.

Yang patut diperhatikan adalah homeschooling menuntut tanggung jawab yang besar dari orang tua akan perkembangan anaknya. Ini adalah komitmen yang tidak mudah, apalagi untuk orang kota. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjalankan homeschool saya bisa memberikan beberapa saran ini:

1. Yakinkah Anda, bahwa Anda akan memprioritaskan waktu dan tenaga Anda untuk pendidikan anak Anda?
2. Carilah informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan. Kalau bisa malah ngobrol dengan orang yang sudah menjalankannya.
3. Cek di Dinas Pendidikan daerah Anda apakah anak Anda bisa mendapatkan ijasah formal atau persamaan dan bagaimana caranya, sebab ini berkaitan dengan kelanjutan studi anak Anda di jenjang yang lebih tinggi.
4. Jangan memaksa anak untuk homeschool, berikan pengertian kepada dia. Jika ia lebih suka sekolah formal, biarkan saja. Kecuali bila anak sudah lebih besar, Anda bisa lebih memberikan pertimbangan lebih banyak kepada anak Anda, karena ia sudah bisa diajak berdialog dan berdebat bila perlu.
Dipandang dari sisi positif dan negatifnya, Homeschooling memiliki beberapa pertimbangan penting. Dilihat dari sisi positifnya yang pertama homeschooling mengakomodasi potensi kecerdasan anak secara maksimal karena setiap anak memiliki keberagaman dan kekhasan minat, bakat, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Potensi ini akan bisa dikembangkan secara maksimal bila keluarga memfasilitasi suasana belajar yang mendukung di rumahnya sehingga anak didik benar-benar merasa at home dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang bersifat informal dan sangat dipengaruhi faktor emosional. Dengan metode homeschooling ini anak didik tidak lagi dibatas oleh empat tembok kelas yang sesak dan mereka bisa memilih tema pembelajaran yang diinginkan mereka.

Yang kedua, metode ini mampu menghindari pengaruh lingkungan negati yang mungkin akan di hadapi oleh anak di sekolah umum. Pergaulan bebas, tawuran, rokok dan obat-obat terlarang menjadi momok yang terus menghantui para orangtua, sementara mereka tak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu.

Dilihat dari sisi negatifnya, yang pertama, dikhawatirkan siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul. Kekhawatiran ini disanggah oleh Dhanang Sasongko Sekjen Asah Pena (Asosiasi Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mengatakan bahwa adanya sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyakat. Untuk mengatasi problem ini sering diadakan kegitan di luar seperti ke pasar dan panti-panti. Metode Sekolah-Rumah bukan berarti belajarnya di rumah terus tetapi bisa juga di luar rumah yang penting dalam pembelajan anak didik merasa at home atau krasan dan senang dengan tema pembelajaran yang diikutinya. Sehingga pembelajaran bisa berjalan alami dan mandiri.

Yang kedua, Persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah-rumah ini? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: ”Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang.

Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaelawati Rumindasari menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah-rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah-rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar,teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B(setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU).

Maraknya model pendidikan alternatif diantaranya homeschooling ini perlu ditimbang sebagai partisipasi masyarakat dalam perluasan akses pendidikan dan perbaikan metode pembelajaran formal-konvensional yang cenderung bersifat kaku dan membosankan. Rasanya tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih baik pendidikan formal atau informal.

Sementara ini ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.































Pendidikan Bukan Hanya di Sekolah
>> 05 MARET 2009
Mendengar kata sekolah, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu umumnya memang ditujukan pada suatu sistem atau lembaga dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan dan sebagainya.
Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, atau schola (latin), kata itu secara harfiyah berarti waktu luang atau waktu senggang. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada bapak bangsa Inggris yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam asal mula bahasa kita sekarang?
Ukuran dan jenis sekolah bervariasi tergantung dari sumber daya dan tujuan penyelenggara sekolah. Sebuah sekolah mungkin sangat sederhana dimana sebuah lokasi tempat bertemu seorang pengajar dan beberapa peserta didik, atau mungkin, sebuah kompleks bangunan besar dengan ratusan ruang dengan puluhan ribu tenaga kependidikan dan peserta didiknya.
Ada hal menarik dalam Al-Quran, yaitu bahwa qadla (keputusan atau dekrit) Tuhan tentang kewajiban manusia menghormati ibu bapaknya diberikan sebagai persoalan kedua setelah kewajiban bertauhid atau tidak menyembah sesuatu apapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan itu juga diikuti dengan pesan-pesan agar manusia jangan sampai berucap kasar pada ibu bapaknya itu, jika salah seorang atau kedua-duanya telah mencapai usia lanjut, maka hendaknya kita bersikap lemah lembut, penuh kasih sayang sebagaimana mereka telah mendidik kita sewaktu kecil.
Namun bila kedua orang itu memaksakan sesuatu yang tidak dapat diterima kebenarannya, misalnya, sikap mempersekutukan Tuhan atau syirik, maka mereka tidak boleh ditaati. Akan tetapi, masih kewajiban kepada kita untuk berbuat baik kepada mereka.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa peran orang tua menjadi tak tergantikan oleh siapapun juga. Hal ini tidak hanya berlaku bagi muslim tetapi juga bagi kaum kristiani yang dalam banyak hal memiliki banyak persamaan ajaran atau doktrin sepanjang menyangkut peran orang tua.
Peran strategis orang tua itu tidak saja bermakna bagi anaknya. Posisi orang tua yang demikian itu juga memberikan tanggung jawab atau beban dalam hal mendidik anaknya. Jadi, peran pendidikan punya sangkutan dengan kesediaan belajar. Orang tua atau siapa saja akan mampu menjalankan tugas dengan baik kalau punya pengetahuan yang memberinya deretan pilihan atau alternatif. Maka dari itu orang tualah yang paling mempengaruhi pendidikan anaknya, karena dasar pendidikan itu adalah mengetahui karakter si anak tersebut. Lalu bisakah seorang anak dipasrahkan kepada orang lain yang tidak mengetahui karakter si anak didik tersebut? Apalagi pendidik pengganti (baca: guru) tersebut acuh terhadap anak didiknya yang lebih mementingkan gaji yang bersifat individual.
Mayarakat sekarang agaknya sudah salah persepsi, mereka lebih berpendapat bahwa sekolahlah yang mendidik para pelajar. Padahal sekolah hanyalah sebuah lembaga yang termanajemen saja. Jadi jelas bahwa bukanlah sekolah yang mendidik melainkan para pendidik atau guru yang berikatan bersama dengan sekolah. Pendidik –katakanlah guru¬¬¬¬¬–– adalah figur utama bagi para pelajar sebagai pendidik pengganti dari orang tua. Dan dalam hal mendidik anak didik itu tidak harus selalu memakai seragam, sepatu dan duduk di bangku sekolah (formal). Para pendidik bisa saja memberikan pendidikan yang berarti di luar sekolah entah itu di taman, lapangan, rumah, bahkan taman hiburan (informal). Jadi untuk mendapatkan pendidikan, kita jangan terpaku pada sekolah. Sebaliknya, kita harus mandiri untuk menjadi orang yang kreatif.





















KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR
Kategori: Umum (372 kali dibaca)
Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.
Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman. (T.Ad/id) (red)

pendidikan non formal (5)

Artikel:
Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun
Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun
Oleh:
Muh. Syukur Salman

Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia. Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan "tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.

Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.

Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar, tetapi telah lebih dulu dibina diPAUD tersebut, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu jalur terselenggaranya PAUD adalah jalur pendidikan nonformal. PAUD jalur pendidikan nonformal adalah pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel sebagai upaya pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilaksanakan melalui Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, dan bentuk lain yang sederajat. Taman Penitipan Anak selanjutnya disingkat TPA adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program kesejahteraan sosial, program pengasuhan anak, dan program pendidikan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun. Bentuk lain yang sederajat dengan TPA dan KB, antara lain Taman Bermain, Taman Balita, dan Taman Pendidikan Anak Sholeh (TAPAS), dan PAUD yang diintegrasikan dengan progam layanan yang telah ada seperti Posyandu, dan Bina Keluarga Balita.

Penyelenggaraan PAUD nonformal tentu saja mempunyai arti dan manfaat yang tidak sedikit. Suatu konsep pendidikan yang dilaksanakan oleh sebagian besarnya adalah masyarakat dan diperuntukkan bagi anak usia sebelum pendidikan dasar, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Oleh karena itu usaha untuk mendorong bentuk-bentuk PAUD non formal harus terus menjadi perhatian kita semua, khususnya pemerintah. Penyaluran dana pendidikan yang terus bergerak naik di APBN, harus pula menyentuh PAUD nonformal ini. Meski kegiatan ini telah ada sekian lama, namun tetap harus mendapat perhatian serius sehingga semakin berkembang. Untuk lebih menggairahkan tumbuh berkembangnya PAUD nonformal ini, akan lebih baik jika pengangkatan guru PAUD lebih ditingkatkan. Selama ini, pengelolaan PAUD nonformal masih kurang profesional, terutama pada pembina atau gurunya, sehingga sangat dibutuhkan guru yang mempunyai kompetensi dan sertifikasi sebagai guru PAUD nonformal. Demikian pula terhadap kepedulian masyarakat terhadap keberadaan PAUD nonformal, harus mendapat dukungan yang tinggi dari pemerintah. Keterbatasan pemerintah dalam mengadakan PAUD formal semacam Taman Kanak-kanak dan Raodatul Atfal, tentu sangat terbantu dengan adanya PAUD nonformal. Selain itu, sosialisasi tentang PAUD non formal harus terus digiatkan sehingga masyarakat Indonesia tidak awam dengan hal tersebut.
Konsep manfaat PAUD diberdayakan tak lain adalah semakin siapnya anak-anak kita memasuki jenjang pendidikan dasar (sekolah dasar). Selama ini, sangat terasa anak-anak yang masuk SD tanpa melalui PAUD dalam hal ini Taman Kanak-kanak (TK), pada umumnya tertinggal prestasinya. Meskipun demikian, hampir tak ada grafik naik masyarakat untuk terlebih dahulu memasukkan anaknya ke TK. Hal inilah yang menjadikan PAUD nonformal menjadi urgen. Taman Kanak-kanak dan Raudathul Atfal sebagai bentuk PAUD formal masih sangat kurang, sehingga sebagian masyarakat tidak memasukkan anaknya di TK atau RA, sebagian masyarakat lainnya menginginkan anaknya untuk dibina pada suatu "institusi pendidikan" yang tidak berkesan formal (nonformal) sebelum masuk SD.

Taman Penitipan Anak dan Taman Bermain adalah dua bentuk PAUD non formal yang memang jauh dari nuansa formal. Orangtua dapat lebih kreatif dalam melihat perkembangan anaknya melalui PAUD nonformal, apalagi jika PAUD berbasis keluarga dapat terealisasi dengan baik. Kesan santai dan fleksibel adalah merupakan ciri khusus PAUD nonformal. Meskipun demikian PAUD nonformal tidak sekedar sebagai tempat anak dititip oleh orangtuanya atau tempat bermain anak saja. Perkembangan anak menuju suatu penguasaan ilmu atau keterampilan tetap menjadi tujuan utama, hanya saja "gaya" dalam mencapai hal tersebut, berbeda. Bermain adalah salah satu bentuk kegiatan yang mendominasi PAUD non formal. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh. Pendapat ini kurang begitu tepat dan bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Konsep inilah yang terus dikembangkan sehingga perkembangan jiwa anak semakin baik. Anak tidak menjadi tertekan, penakut, minder, dan jahat. Diharapkan anak akan menjadi kreatif, pemberani, percaya diri, dan rendah hati.

Anak-anak yang telah melalui PAUD termasuk PAUD nonformal tentu mempunyai gairah yang tinggi untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan PAUD nonformal mengisi kekosongan PAUD formal tentu semakin membuka akses bagi masyarakat dalam memasukkan anaknya ke PAUD sebelum ke SD, oleh karena itu akan lebih baik jika pendirian atau pengadaan PAUD Nonformal dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia, jika dapat setiap kelurahan mempunyai PAUD Nonformal. Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang dicanangkan oleh pemerintah akan semakin nyata dapat tercapai berkat dukungan PAUD nonformal. Hal ini dimungkinkan dengan semakin meningkatnya pengenalan terhadap pentingnya pendidikan sejak dini dan semakin luasnya jaringan PAUD dengan adanya PAUD nonformal sebagai bentuk wahana pengenalan pendidikan tersebut kepada masyarakat. Semakin luasnya akses untuk menemukan pendidikan sejak dini dan semakin mengertinya masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tentu merupakan indikator utama atas semakin nyatanya keberhasilan wajar pandas 9 tahun. Tak terlalu berlebihan jika kita memandang PAUD Nonformal adalah merupakan semangat atau spirit terhadap keberhasilan Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun. SEKIAN


Anggaran Pendidikan Nonformal Tahun 2008 Naik



Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa, mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar nonformal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.

"Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun," kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.

"Pendidikan dasar nonformal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan," ujar Bambang dan menambahkan, "Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha."

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.

"Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia," ujarnya.

Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan nonformal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.

"Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal," tambahnya.

Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.

Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen.

"Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain," kata Bambang.(*)











































PENDIDIKAN AGAMA NON FORMAL JUGA BUTUH DIPERHATIKAN
by MAJALAH.KOMUNITAS (02/05/2009 - 06:48) |

Taman pendidikan Alqur’an atau taman pendidikan seni Alqur’an adalah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat non formal. Posisinya dirasa sangat perlu keberadaannya dalam mencetak generasi qur’ani. Hal ini sangat relevan dengan kondisi sekarang dimana pemerintah Sumatera Barat mencanangkan konsep “kembali ke surau”.
Wajar memang tatkala efek dari globalisasi telah merambah disemua kalangan,penanaman dan pemantapan pondasi aqidah sebagai dasar hidup mutlak harus, apabila generasi muda kita. Tentu mustahil “adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”akan dapat menuai hasil apabila tidak adanya usaha dari kita untuk menjalankannya.
Pasaman Barat,gebrakan untuk mencanangkan pendidikan Alqur'an belum begitu tampak,walaupun ada namun belum begitu terasakan. Kemandulan selama ini masih menyelimuti generasi pemerhati pendidikan harus dihidupkan kembali. Sekarang pertanyaannya adalah kita ingin berfikir atau apakah kita akan memperhatikan kemunduran?. Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan harus bertanggung jawab,begitu pula mahasiswa yang telah diakui keberadaannya sebagai “Agen of Change”. Gebrakan dan pemikiran ini sudah mulai digerakkan dalam kurun beberapa tahun yang lalu oleh masyarakat desa Sidomulyo,kecamatan Kinali,Pasaman Barat. Tidak kurang dari 125 santri yang aktif untuk mau menuntut ilmu Alqur'an dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari TK,SD sampai SLTA, yang mengikuti pendidikan baik di mesjid,mushalla ataupun dirumah-rumah.
Agus Hendra (Mahasiswa Universitas Negeri Padang),yang telah terjun dalam taman pendidikan Alqur’an ini mempunyai target misi “Memberantas buta huruf baca Alqur'an di desa ini” dan misi pencerdasan ini akan dilanjutkan ke daerah yang lebih luas lagi di kecamatan Kinali dan pasaman barat khususnya.“Tidak semua mencontoh itu buruk “paparnya. Sistem pendidikan ini juga akan disesuaikan, dan programnya tidak jauh beda dengan kota Padang yang cukup sukses dalam pelaksanaannya, juga mempunyai nilai tersendiri dalam mencanangkan kembali ke surau.
Taman pendidikan alquran (TPA/TPSA) di pasaman barat sebenarnya di tiap-tiap desa baik di surau atau di rumah-rumah sebagian telah ada, namun yang perlu diseriuskan adalah masalah “Sistem pembinaannya yang belum terkoordinir secara baik”, yang perlu menjadi renungan adalah bagaimana kita akan mendapatkan hasil yang baik apabila prosesnya kurang begitu tetata secara baik. Untuk membangun pasaman barat jangan lupakn manusianya,apalagi generasi mudanya. Apabila kondisi ini dibiarkan,tunggu kehancuran.










UNTUK TINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NON FORMAL


SKB SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG BERIKAN PELATIHAN BAGI PARA TUTOR
SIJUNJUNG(08/11/07) - Untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik dan kependidikan, pendidikan non formal, di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sanggar Kegiatan Belajar Muaro Sijunjung melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi PTK PNF.

Peserta Diklat terdiri dari unsur tutor kesetaraan Paket B 20 orang, Paket C 20 orang, PAUD 20 orang, tutor keaksaraan fungsional 20 orang dan penyelenggara program sebanyak 20 orang.
Kepala SKB Muaro Sijunjung, Awaluddin Zainu. S.Sos, mengatakan, pelatihan ini dilaksanakan mulai 5 Nopember sampai 10 Nopember mendatang. Sedangkan instruktur berasal dari Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Barat, Balai Pengembangan Kegiatan Belajar Sumatera Barat, Dinas Pendidikan Kabupaten serta Kepala SKB Muaro Sijunjung.
Lebih lanjut Awaluddin Zainu menjuelaskan, sesuai dengan undang-ungdan No.22 Tahun 2003, pendidikan di Indonesia terbagi 3 kategori, diantaranya pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah. Pendidikan Non formal yang diperdapat diberbagai lembaga atau organisasi dan pendidikan Informal yang diperdapat dalam lingkungan keluarga.
”Nah sekarang ini yang kita laksanakan adalah pendidikan non formal, dengan pelatihan yang dilaksanakan ini, kita berharap pendidikan non formal ini akan semakin meningkat mutu dan kualitasnya. Untuk itu kita laksanakan pelatihan bagi para tutor, sebagai bekal bagi mereka dalam memberikan didikan bagi anak didik,” katanya.
Kepala SKB mengharapkan kepada seluruh peserta untuk dapat menterapkan ilmu yang di berikan instruktur, serta menerapkannya dalam pembinaan dilapangan nanti, sehingga ilmu yang telah di transfer instruktur benar-benar bermanfaat.-Eri Chaniago.


















Pendidikan Non Formal
Sambas,- KEHADIRAN Pendidikan Non Formal atau biasa disingkat PNF di Kabupaten Sambas dibutuhkan. Demikian ditegaskan Kepala UPT Dinas Pendidikan Galing Sayudin Santi SPd, dalam penjelasannya kepada Pontianak Post. Hal tersebut, katanya, dibutuhkan untuk menampung remaja di daerah ini yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. “Kalau terus dibiarkan mereka akhirnya menjad tenaga kerja yang tidak produktif,” ungkapnya.

Bidang kepemudaan yang bisa diprogramkan diantranya seni budaya, lingkungan hidup, usaha produktif, wisata dan pencinta alam, dan banyak lagi lainnya. Dengan keberadaannya di suatu tempat diharapkan dapat memberdayakan potensi yang dimiliki oleh para pemuda. “Nah, untuk menyukseskan ini tentu bukan hanya tugas Dinas Pendidikan, instansi terkait yang berhubungan dengan program tersebut juga harus mendukung,” paparnya.

Sayudin menjelaskan bahwa keberadaan PNF sebenarnya terakomodir dalam UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Payung hukum yang tersedia tersebut hendaknya ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Misalnya menyejajarkan tenaga pendidik di PNF dengan pendidik formal. “Sebagai tenaga honorer, hendaknya pendidik di PNF juga diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS bila sudah memenuhi syarat,” ujanya.(mur)



< KEHADIRAN Pendidikan Non Formal atau biasa disingkat PNF di Kabupaten Sambas dibutuhkan. Demikian ditegaskan Kepala UPT Dinas Pendidikan Galing Sayudin Santi SPd, dalam penjelasannya kepada Pontianak Post. Hal tersebut, katanya, dibutuhkan untuk menampung remaja di daerah ini yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. “Kalau terus dibiarkan mereka akhirnya menjad tenaga kerja yang tidak produktif,” ungkapnya.

Bidang kepemudaan yang bisa diprogramkan diantranya seni budaya, lingkungan hidup, usaha produktif, wisata dan pencinta alam, dan banyak lagi lainnya. Dengan keberadaannya di suatu tempat diharapkan dapat memberdayakan potensi yang dimiliki oleh para pemuda. “Nah, untuk menyukseskan ini tentu bukan hanya tugas Dinas Pendidikan, instansi terkait yang berhubungan dengan program tersebut juga harus mendukung,” paparnya.

Sayudin menjelaskan bahwa keberadaan PNF sebenarnya terakomodir dalam UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Payung hukum yang tersedia tersebut hendaknya ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Misalnya menyejajarkan tenaga pendidik di PNF dengan pendidik formal. “Sebagai tenaga honorer, hendaknya pendidik di PNF juga diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS bila sudah memenuhi syarat,” ujanya.(mur)