Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Menengah 5

Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.
Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).
Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.
Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.
Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.
Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?
Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).
Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?
Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.
Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.
Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.
Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan


Ditulis oleh Berita Jakarta/Dikmenti Selasa, 21 Oktober 2008
Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi”
- Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar