Senin, 25 Mei 2009

pendidikan menengah

Sistem Seleksi, Kelembagaan, dan Keadilan Pendidikan
Pada Juni dan Juli 2008 ini, perguruan tingggi negeri (PTN) dan sekolah menengah negeri (SMN) di Tanah Air melaksanakan kegiatan seleksi (maha)siswa baru. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, rasio antara jumlah pelamar dan bangku yang tersedia mencapai 4:1 pada SMN. Sedangkan PTN, dari 390.000 kandidat yang saat ini mengikuti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM-PTN), hanya 81.000 yang mungkin dapat ditampung. Artinya, hampir 2/3 siswa usia sekolah menengah yang saat ini memperebutkan bangku SMN akan tersisih, sedangkan PTN akan menolak kandidat mahasiswa lebih besar lagi. Secara umum persyaratan bagi kandidat untuk dapat diterima pada lembaga pendidikan di muka tahun ini relatif sama dengan tahun sebelumnya, yaitu kandidat harus lulus ujian tulis untuk PTN dan dengan menunjukkan hasil/skor kumulatif ujian nasional (UN) untuk kandidat siswa SMN. Bagi SMN, prosedurnya sebagai berikut, nilai/skor kumulatif UN setiap kandidat akan diurutkan dari yang tertinggi ke terendah. Keberhasilan kandidat siswa akan ditentukan oleh seberapa besar kursi yang tersedia pada setiap sekolah menengah negeri yang dilamar. Acuan yang digunakan bersifat normatif (norm-referenced measurement), bukan kriteria (criterion-referenced measurement). Belakangan sempat diberitakan pengelola PTN berselisih perihal mekanisme seleksi PTN. Perselisihan itu ternyata tidak menyentuh persoalan substantif. Sebaliknya yang diperdebatkan hanya sebatas masalah keuangan dan administrasi ujian. Sedangkan sistem, kelembagaan, materi ujian, dan informasi akademik pendukung lainnya belum dibahas sama sekali. Padahal sistem, kelembagaan, dan perbaikan kualitas termasuk materi seleksi seharusnya menjadi perhatian utama pengelola PTN dan Depdiknas apabila PTN akan diarahkan menjadi the agent of change, yang mampu mendorong perbaikan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, meningkatkan daya saing global, serta mendorong terwujudnya lembaga riset unggulan di negara tercinta ini. Memprihatinkan, meskipun bangsa ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun, seleksi PTN masih dikelola secara darurat (ad hoc) dalam bentuk kepanitiaan. Negara yang dalam konstitusinya dengan sangat tegas menyebutkan akan memajukan kesejahteraan umum dan bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi pengelolaan penilaian yang merupakan komponen terpenting dalam sistem pendidikan nasional masih bersifat kepanitiaan. Akibatnya secara sistem, kesahihan dan keadilan hasil ujian sulit untuk ditelusuri, diteliti, dikaji, dan dikembangkan. Hampir semua pengelola PTN termasuk Depdiknas menganggap kelembagaan dan materi ujian yang digunakan selama ini taken for granted sudah baik, sedangkan fokus perhatian sebatas mekanisme bagi-bagi rezeki. Pembangunan materialisme selama empat dekade ini ternyata bukan hanya menggerus dan menumpulkan nurani politisi, birokrasi, dan sebagian masyarakat. Lebih dari itu, sikap hidup 'instan' dan kebendaan itu juga sudah melanda sebagian pengelola PTN dan sudah berhasil melumpuhkan daya kritis, inovasi, dan kepekaan sosial yang seharusnya menjadi keunggulan kelompok komunitas akademis ini. Sejak tahun 80-an, yaitu saat diperkenalkannya model seleksi PMDK oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memecahkan persoalan keadilan dan akses terhadap pendidikan bermutu pada jenjang pendidikan tinggi, Depdiknas selebihnya hanya terperangkap rutinitas. Sejak 1990-an hampir tidak muncul lagi kajian dan riset serius tentang sistem, kelembagaan, dan substansi seleksi PTN. Kegiatan seleksi mahasiswa baru PTN setiap tahunnya hampir selalu ramai dan menciptakan 'kepanikan' pada banyak orang tua/masyarakat. Ritual ini selalu melibatkan banyak pihak termasuk sumber daya PTN dan guru sekolah menengah. Padahal apabila Depdiknas sudah memiliki sistem penilaian nasional dan lembaga penilaian mandiri (examination authority) dan permanen, proses seleksi dapat berlangsung biasa, tertata, dan terukur. Amerika Serikat memiliki Educational Testing Service (ETS) dan American College Testing (ACT) yang memberikan pelayanan ujian masuk perguruan tinggi bagi lulusan SMA yang administrasinya dimungkinkan pada saat kandidat masih duduk pada semester ke-5/6 di SMA. Ujiannya dapat dilaksanakan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Artinya siswa yang belum memperoleh hasil/skor yang sesuai kriteria PT yang dilamar pada ujian pertama masih dimungkinkan untuk memperbaikinya pada ujian tahapan kedua. Perguruan tinggi tidak perlu terlibat langsung pada pelaksanaan dan pengolahan hasil ujian karena tugas itu merupakan tanggung jawab 'examination authority'. Namun perguruan tinggi boleh memiliki komite penerimaan mahasiswa baru (admission committee) yang memiliki otoritas untuk membuat penilaian dan keputusan terhadap seluruh informasi akademik kandidat yang masuk dan terdiri dari antara lain hasil/skor tes tertulis, referensi guru, nilai rapor, portofolio, dan project works. Komite penerimaan sedikitnya memerlukan waktu dua bulan untuk memutuskan apakah seorang kandidat dapat diterima pada perguruan tinggi bersangkutan. Dengan proses seleksi semacam itu, kita segera dapat menilai kualitas keputusan yang dihasilkan. Bandingkan dengan kualitas kandidat yang mungkin diperoleh PTN di negara ini yang hanya mengandalkan ujian tulis sekali (one sitting exam) dengan waktu kurang dari 4 jam, tanpa menggunakan informasi akademik kandidat lainnya. Apabila proses seleksi PTN dilakukan secara lebih komprehensif dan berimbang sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju, hasilnya pasti akan sangat berbeda. Proses pembelajaran dan kegiatan akademik di PTN akan menjadi semakin bermutu, 'viable', inspiratif, dan menyenangkan. Bukanlah sesuatu yang harus diratapi apabila posisi PTN di Indonesia selalu berada pada peringkat ratusan menurut penilaian lembaga pemeringkat dunia. Menurut hemat penulis, Depdiknas/PTN belum memiliki sistem seleksi yang 'rigorous', padahal sistem seleksi itu termasuk kriteria utama yang digunakan lembaga pemeringkat dunia. PTN masih terlalu disibukkan dengan pekerjaan yang bukan merupakan domainnya. Kegiatan seleksi seharusnya dilakukan para ahli penilaian (test specialists) yang didukung ahli kurikulum, ahli belajar (learning theorists), bidang studi (subject specialists), cognitive psychology, kebijakan pendidikan (educational policy), dan dilaksanakan lembaga penilaian mandiri agar pertanggungjawabannya lebih jelas dan terukur. Pendidikan menengah kita juga menghadapi kebuntuan serupa. Sistem seleksi siswa baru SMN di banyak tempat hanya mengandalkan hasil/skor ujian nasional (UN). Sebagaimana dirumuskan Depdiknas, UN juga berfungsi sebagai alat seleksi pada jenjang pendidikan berikutnya. Rumusan UN dapat berfungsi sebagai alat seleksi membuat makna seleksi menjadi rancu (misleading). UN sebagai alat penilaian prestasi belajar seharusnya berfungsi memotret hasil sebuah proses pembelajaran. Sebaliknya UN sebagai alat seleksi seharusnya bersifat prediktif untuk menjelaskan kemungkinan kesuksesan kandidat pada jenjang pendidikan berikutnya/lebih tinggi. Kebijakan penggunaan hasil UN untuk keperluan seleksi itu juga terkesan simplistis dan 'make thing easy' sehingga kontraproduktif terhadap pengembangan sistem penilaian pendidikan di Tanah Air. Padahal sistem penilaian yang andal akan dapat membantu memecahkan persoalan akses, mutu, dan keadilan pendidikan. Berbagai pertimbangan praktis, finansial, dan transparansi selalu dikemukakan, namun dampak kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip pengukuran pendidikan belum dikaji secara serius termasuk kelayakan (adequacy), kebenaran prosedur, dan prinsip keadilan (test fairness). Apabila konsisten dengan amanat konstitusi, pemerintah seharusnya tidak perlu membuang energi untuk melakukan kegiatan seleksi. Berilah perhatian lebih sungguh-sungguh dan mendalam pada proses pembelajaran di kelas/sekolah. Namun, apabila kegiatan seleksi harus dilakukan mengingat besarnya permintaan, proses seleksi itu hendaknya dilakukan secara komprehensif, yaitu dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh informasi akademik tentang kandidat pada jenjang pendidikan sebelumnya termasuk buku rapor, rekomendasi guru, karya akademik dan nonakademik, karangan panjang (long essay), dan kondisi sosio-ekonomis. Pekerjaan seleksi itu haruslah dilakukan komite penerimaan yang dibentuk Dinas Pendidikan. Komite harus bekerja secara profesional, independen, memahami prinsip-prinsip pengukuran pendidikan, kebijakan publik, teori belajar, dan 'cognitive studies'. Karena, pada tahapan akhir, keputusan kelulusan dalam setiap proses seleksi bukan hanya ditentukan dan didasarkan pada informasi akademik dan pertimbangan psikometri.

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar."Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA."Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."

Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memprihatinkan
MASYARAKAT luas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Mei 2005 ini geger sehubungan dengan pengumuman hasil uji coba ujian nasional tingkat SMP tahun ajaran 2004/2005. Hasil uji coba ujian nasional yang menggunakan dasar Kurikulum 1994 sebagai acuan kompetensi menunjukkan, dari 43 SMP peserta tes hanya 4 SMP saja yang lulus ujian. Artinya, nilai rata-rata di 4 SMP tersebut berada di atas ambang kelulusan yang dipatok pemerintah, yakni 4,25. Sementara nilai rata-rata 39 SMP lain berada di bawah ambang batas kelulusan.
Meskipun sebuah SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca dari mayoritas siswa di sekolah tersebut yang nilai tesnya di bawah ambang batas kelulusan.
Uji coba di Kudus dilaksanakan 18-21 April 2005, diikuti sekitar 6.000 siswa kelas III dari 43 SMP. Ada enam mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Materi uji coba disiapkan oleh Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat dengan mengacu dasar-dasar kompetensi yang dipatok pemerintah.
Perhitungan secara kasar dari 6.000 siswa peserta tes, jika ada 39 sekolah tidak lulus, artinya jumlah siswa yang gagal menembus patokan pemerintah (angka 4,25) diperkirakan mencapai 5.000 anak lebih. Mengingat Kabupaten Kudus termasuk daerah maju dan berada di Pulau Jawa, bagaimana dengan hasil-hasil tes di lain tempat terutama di luar Pulau Jawa?
Pelaksanaan uji coba bertujuan memetakan kesiapan siswa menjelang ujian nasional sesungguhnya yang akan dilaksanakan 6-8 Juni 2005. Guna menjamin validitas hasil, uji coba dikoreksi dengan sistem optical mark reader (OMR) di Lab Komputer Lembaga Pendidikan Mandiri Semarang. Para siswa mengerjakan soal dengan lembar jawaban komputer (LJK) sehingga saat ujian sesungguhnya tidak akan canggung.
Keempat sekolah yang dinyatakan lulus terdiri 3 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Mereka adalah (berdasarkan peringkat) SMP Negeri 2 Kudus, SMP Keluarga, SMP Negeri 1 Jekulo, dan SMP Negeri 1 Gebog (lihat tabel 1). Dari 46 SMP di Kudus, hanya tiga sekolah tidak ikut uji coba tertulis, yaitu SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae, yang beruji coba sendiri menggunakan metode contextual teaching learning (CTL) .
Meski hasil tes amat buruk, kalangan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional dan penanggung jawab uji coba justru menyalahkan materi tes yang katanya dibuat sulit. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jateng Suwilan Wisnu Yuwono, hasil uji coba ujian nasional tidak bisa dijadikan ukuran kelulusan. "Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus," ujar Suwilan (Kompas edisi Jateng, 21 Mei 2005).
Menarik untuk disimak apakah memang benar materi uji coba di Kudus dibuat jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian nasional yang diadakan pemerintah pusat? Jika memang benar uji coba dibuat sulit, lantas di mana posisi ujian nasional yang menelan biaya tidak sedikit itu? Mengingat tes uji coba juga menggunakan spesifikasi butir soal sesuai dengan standar kompetensi lulusan, bukankah berarti kualitas pendidikan tingkat menengah secara nasional (diwakili hasil di Kudus) tercermin dari hasil tes tersebut?
PERATURAN Mendiknas Nomor 1 Tahun 2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2004/2005, Pasal 3, disebutkan, ujian nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Perlu diingat, untuk tahun ajaran 2004/2005 ini, peserta didik dinyatakan lulus ujian nasional apabila memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (Pasal 14 Ayat 1).
Akan tetapi, standar kelulusan 4,25 sebenarnya tidak baku. Karena Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, pemerintah daerah dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Artinya, masing-masing satuan pendidikan (sekolah) diberi kewenangan untuk menetapkan tingkat kelulusan asal tidak boleh di bawah patokan pemerintah, yakni 4,25.
Konsekuensi dari Pasal 14 Ayat (1) di atas kelulusan peserta didik ditentukan dari 12 mata pelajaran yang diujikan. Dari 12 mata pelajaran tadi, tiga di antaranya, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, materi soalnya ditentukan pusat, sementara sembilan mata pelajaran lain, materi soal dikelola daerah atau sekolah masing-masing.
Dalam kasus uji coba di Kudus, enam materi tes semua disiapkan pihak MGMP, yang berarti tingkat validitas hasil lebih mencerminkan kualitas pendidikan peserta didik. Pihak sekolah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui spesifikasi butir soal yang akan keluar tes.
Validitas akan tampak jika menyoroti jumlah kegagalan sekolah lulus ujian dilihat dari hasil per mata pelajaran (lihat tabel 2). Ternyata ditemukan bukti kegagalan sekolah bukan karena hasil satu mata pelajaran saja. Bahkan, sejumlah sekolah gagal di lima mata tes uji coba. Yang menarik, dari enam mata pelajaran tes uji coba, hanya mata pelajaran PPKn yang berhasil meloloskan 43 sekolah (lihat tabel 3), sementara yang gagal lulus terbanyak di 39 SMP disebabkan karena mata pelajaran Matematika.
Jika mau jujur, tingkat validitas kualitas pendidikan tidak tercermin dari hasil tes sesungguhnya. Bukan rahasia lagi tes ujian yang diadakan sekolah atau daerah hampir dapat dipastikan peserta didik akan lulus. Tanpa bersusah payah dan tanpa belajar pun tidak akan ditemui cerita seorang siswa gagal ujian.
Dari pengalaman selama ini, tes yang diadakan sekolah atau daerah penuh hasil rekayasa. Ada tiga sistem menilai hasil tes siswa, yaitu sistem silang penuh, setengah silang, dan terakhir dinilai 2 guru sekolah sendiri. Sistem silang penuh hasil tes dinilai 2 orang guru lain sekolah. Sistem setengah silang, hasil tes dinilai 1 guru sendiri dan 1 guru lain sekolah. Hasil penilaian 2 guru dimasukkan lembar bantu lalu "dikawinkan" untuk kemudian diperoleh hasil akhir masing-masing siswa.
Jika ditemukan ada siswa nilainya berada di bawah ambang batas kelulusan, nilai tersebut "didongkrak" sehingga akhirnya dapat lulus ujian. Nilai "dongkrak" itu biasanya diputuskan melalui mekanisme rapat antarsekolah. Alhasil, nilai hasil ujian nasional yang diadakan sekolah atau daerah hampir dipastikan selalu lolos ambang batas kelulusan. Mengapa ketidakjujuran itu selalu berlangsung saban tahun? Jawabnya mudah. Pengambil kebijakan sendiri (baca: pejabat teras Depdiknas) juga berlaku tidak jujur dan membiarkan kecurangan tersebut terjadi.
Dari kajian sederhana ini dapat ditarik kesimpulan, banyak pihak belum mampu mandiri. Orangtua ingin selalu anaknya lulus ujian, guru juga belum punya keberanian. Pihak sekolah selalu bangga mampu lulus 100 persen. Pejabat terkait sama juga, selalu minta anak buahnya mampu meloloskan sebanyak mungkin. Meski untuk cara itu ditempuh beragam rekayasa. Dibutuhkan keberanian untuk merombak sistem yang ada. Sistem penilaian komputer yang dikelola pusat sudah barang tentu tidak luput dari rekayasa. Hasil yang diperoleh siswa bukan melalui proses belajar-mengajar, namun bergantung pada programer. Memang untuk maju butuh keberanian dan kejujuran. Hasil uji coba di Kudus membuka mata kita bahwa kualitas pendidikan tingkat menengah sudah amat buruk.


OpenSource, Dalam Kurikulum Pendidikan Menengah Berbasis Kompetensi
Perkembangan kurikulum pendidikan menengah sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tuntutan desentralisasi, dan hak asasi manusia menyebabkan adanya penyesuaian bahan kajian yang harus dikuasi oleh siswa. Dengan demikian, siswa memiliki bekal berupa potensi untuk belajar sepanjang hayat serta mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Salah satu fasilitas untuk menunjang kompetensi tersebut siswa perlu dikenalkan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT) yang berfungsi sebagai bahan maupun alat pembelajaran.
Paragraf diatas merupakan sedikit pendahuluan dari dokumen final mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi yang bisa didownload dari www.puskur.or.id . Pada kenyataannya ternyata banyak sekali sekolah (SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah) yang kesulitan untuk mengaplikasikan kurikulum kompetensi tersebut dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sarana dan prasarananya.
Memang didalam kurikulum tersebut tidak mengharuskan sekolah untuk menggunakan aplikasi software tertentu yang digunakan, namun bila dilihat dari penjabarannya terlihat sedikit “Microsoft minded”. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya sekolah-sekolah yang menggunakan aplikasi microsoft (windows, office) dalam materi pembelajarannya. Seperti kita telah ketahui bersama bahwa penggunaan software komersial secara tidak legal (baca:membeli) akan menjadi masalah dikemudian hari apalagi dengan telah ditetapkannya UU HAKI. Sedangkan untuk membeli software ASLI, tidak semua sekolah mempunyai kemampuan keuangan yang sama. Mungkin hanya sekolah-sekolah besar saja yang bisa membelinya.
Melihat kondisi diatas, maka software Opensource bisa menjadi sebuah solusi. Mulai dari yang bersifat efisiensi biaya pengadaan hardware hingga efisiensi biaya pengadaan software yang semuanya bisa didapatkan dengan gratis. Software Opensource yang tersedia pada saat ini sangat banyak sekali.Efisiensi Pengadaan Hardware
Dalam rangka menghemat biaya pengadaan hardware, Opensource mengenal sistem diskless workstation (LTSP – Linux Terminal Server Project). Diskless workstation merupakan penggunaan komputer oleh dua atau lebih tanpa adanya suatu media penyimpanan (harddisk) pada komputer client. Untuk proses booting hanya dibutuhkan 1 disket saja untuk meload boot image, setelah itu client menghubungi server untuk proses selanjutnya.
Kebutuhan minimum untuk client LTSP adalah komputer kelas 486 / pentium I. Sedangkan untuk server bisa menggunakan processor terbaik saat ini dengan RAM minimum 512 (mampu untuk 10 client) untuk bisa menjalankan aplikasi OpenOffice. Untuk kebutuhan RAM berbanding lurus dengan jumlah client. Sebagai perbandingan, kami menggunakan P4 2,4 GHz dengan RAM 1 GB untuk meng-handle kurang lebih 22 client. Informasi mengenai LTSP bisa dilihat di http://www.ltsp.org atau http://www.ltsp.or.id .
Efisiensi Pengadaan Software
Untuk menghembat biaya pengadaan software, opensource banyak menawarkan solusi alternatif. Dimana solusi alternatifnya pun bebas biaya alias gratis, sehingga tidak akan melanggar UU HAKI yang telah diterapkan di Indonesia. Selain gratis, software opensource juga mempersilahkan kita untuk melakukan modifikasi karena source codenya disertakan dalam setiap distribusinya. Selain itu banyaknya forum yang bisa kita gunakan untuk mencari sebuah solusi apabila kita menghadapi permasalahan dalam penggunaannya. Berbeda dengan software komersial yang sifatnya closed source.
Berikut ini beberapa software opensource yang bisa digunakan dalam penerapan kurikulum kompetensi:- Sistem Operasi : Linux (redhat, mandrakee, suse, dll) atau FreeBSD- Pengolah kata : OpenOffice Writer- Lembar kerja (worksheet) : OpenOffice Caalc- Presentasi : OpenOffice Impress- Grafis : GIMP- Bahasa Pemrograman : PHP, Perl, C- Web Browser : Mozilla, Konqueror, Netscaape- Pembuatan Homepage : Qanta, BluefishUntuk lebih lengkap mengenai daftar software alternatif ini bisa dilihat di http://linuxshop.ru/linuxbegin/win-lin-soft-en/table.shtml
Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa software Open Source menawarkan sebuah solusi yang cukup ekonomis. Seperti juga hal yang lain, konsep diatas juga mempunyai kelemahan. Yaitu kurangnya SDM yang menguasai software Open Source sehingga sekolah-sekolah pun sedikit kesulitan mencari tenaga pengajar, karena biasanya sudah terbiasa dengan software microsoft. Tetapi itu bukan hambatan yang berarti apabila kita mau belajar dan terus belajar untuk berusaha untuk menggunakannya.

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan
Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).
Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.
Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.
Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.
“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).
Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.
Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.
Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.
Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar