Senin, 25 Mei 2009

pendidikan dasar

5.151 Anak Tak Enyam Pendidikan Dasar
Kepala Dinas Pendidikan DIJ Prof Suwarsih Madya PhD mengakui, pendidikan di DIJ saat ini belum merata. Ada beberapa kantong keluarga miskin yang belum terjamah program wajib belajar, baik sembilan tahun maupun 12 tahun. Itu terbukti dengan masih adanya sekitar 5.151 anak miskin yang belum mengenyam pendidikan dasar.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Misalnya, mereka tidak memiliki beaya untuk sekolah dan budaya orang tua yang mendiskreditkan pendidikan. Keduanya harus diatasi dengan pendekatan berbeda,” ujar Suwarsih, menanggapi kritikan gubernur DIJ akan ketidakmerataan pendidikan di wilayahnya kemarin.Mereka yang tak bisa menikmati bangku sekolah karena miskin, menurut Suwarsih, bisa diatasi dengan beasiswa. Misalnya, melalui program retrieval. Hanya, kemungkinan pemberian beasiswa belum merata sehingga ada warga miskin yang tidak kebagian.
“Untuk itu, dalam waktu dekat saya akan meminta kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota untuk fokus terhadap kantong keluarga miskin. Warga miskin harus didekati dengan pendekatan khusus. Ubah paradigma berpikir yang mengatakan banyak lulusan sekolah yang juga menjadi pengangguran. Itu salah satu pemikiran warga miskin yang menafikan arti penting pendidikan,” tegas guru besar UNY ini.
Ditegaskan mantan diplomat ini, tingginya anak putus sekolah tidak hanya karena faktor kemiskinan. Tapi juga budaya. Ada keluarga kaya tapi tidak ingin anaknya sekolah. Sebab menurut mereka sekolah itu tidak penting.
“Yang penting ya bekerja dan cari uang yang banyak. Mereka tidak mengetahui bahwa pendidikan juga bermanfaat untuk membentuk pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, mandiri, dan beradab,” tambahnya.Angka partisipasi kasar (APK) SD/MI DIJ mencapai 109 persen. Tetapi masih ada sekitar 5.000 anak miskin yang tidak sekolah di SD. “Memang saatnya APK tidak menjadi satu-satunya acuan bahwa pendidikan telah merata. Perlu ada indikator yang lain,” tutur Suwarsih.
Pemkab Banyumas Mengusulkan Rancangan Regulasi BOS
BANYUMAS,Pemerintah Kabupaten Banyumas kini sedang mencoba mengusulkan regulasi ke pemerintah pusat terkait penggunaan dana biaya opera sional sekolah (BOS) yang sampai saat ini masih dalam perdebatan, terutama untuk membayar honor tugas tambahan bagi guru.
Hal itu juga menyusul ditemukannya penyimpangan penggunaan dana BOS pada beberapa sekolah di Banyumas, seperti untuk membayar pulsa telepon kepala sekolah. Apalagi hingga tahun 2008 kemarin, masih banyak ditemukan tarikan tambahan dana pendidikan oleh komite sekolah kepada orang tua siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Banyumas Purwadi, Kamis (29/1), mengatakan, berdasarkan perhitungan sementara ini dana BOS untuk sekolah dasar (SD) sudah bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional pendidikan. Hal itu termasuk untuk membayar honor guru diluar tugasnya mengajar, seperti mengisi nilai rapor, tugas sebagai wali kelas, maupun tugas sebagai pemandu ekstra kurikuler.
Namun karena sampai sekarang pembayaran honor guru dari BOS itu belum ada aturan pastinya dari pemerintah pusat, maka sekarang ini pihaknya sedang berusaha mengusulkannya ke Menteri Pendidikan. "Usulan ini masih kami kaji juga, supaya bisa menghasilkan formula regulasi yang matang," kata Purwadi.
Sementara menurut Manajer BOS Srie Yono, adanya perhitungan dana BOS tersebut, seluruh SD di Banyumas kini dilarang menarik dana pendidikan tambahan apa pun kepada orang tua siswa. Namun bagi sekolah menengah pertama, masih diberikan toleransi untuk pungutan tambahan biaya pendidikan kepada orang tua siswa, antara Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per bulan. "Untuk SD, semuanya gratis," ucapnya.
Agar pungutan dana pendidikan itu tak terjadi lagi di SD dan lebih terkontrol di tingkat SMP, Srie Yono mengatakan, pengawasan terhadap rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) akan diperketat. "Kami akan memeriksanya per semester," lanjutnya.
Terlebih, alokasi dana BOS bagi Banyumas tahun 20 09 ini bertambah cukup besar, dari Rp 65 miliar menjadi Rp 98,2 miliar. Dengan dana sebesar itu, diperkirakan Pemkab Banyumas sudah tak perlu lagi alokasikan BOS daerah.
Namun untuk memastikan kebutuhan ril operasional pendidikan per siswa, Srie Yono mengutarakan, pihaknya bersama Badan Penilitian dan Pengembangan Pemkab Banyumas sedang menghitungnya dan mengkajinya. Hal itu karena sementara ini pihaknya masih mengacu pada aturan BOS dari pemerintah pusat, yakni Rp 397.000 per siswa per tahun untuk wajib belajar pendidikan dasar meliputi SD dan SMP. "Kalau sudah diketahui kebutuhan rilnya, maka bisa diketahui juga BOS itu sudah cukup atau belum," ujarnya.

Sebagian Siswa Tak Tamat Pendidikan Sembilan Tahun
Pandangan masyarakat terhadap DI Yogyakarta yang selama ini dianggap sebagai kota pendidikan tak serta-merta menjamin penduduknya berkesempatan mengenyam pendidikan yang memadai. Hal tersebut setidaknya tercermin dari angka putus sekolah di DIY yang terbilang masih cukup besar jumlahnya.
Dalam kurun waktu dua tahun ajaran, yakni TA 2005/2006 dan 2006/2007, lebih dari 6.000 siswa terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Pada TA 2005/2006, ada 2.074 siswa dari tingkat pendidikan SD hingga SLTA yang tidak melanjutkan sekolah, sedangkan TA berikutnya jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat. Ironisnya, sebagian besar siswa tersebut, lebih dari 59 persen, terpaksa tidak melanjutkan sekolah pada jenjang pendidikan dasar sembilan tahun yang diwajibkan pemerintah, yakni SD hingga SLTP (lihat Grafis).
Tak bisa dimungkiri, wajib belajar yang didengungkan pemerintah itu penting bagi masa depan siswa sendiri. Ini karena program tersebut tidak hanya bertujuan agar semua penduduk berumur 10 tahun ke atas menjadi melek huruf, tetapi juga agar penduduk menjadi tenaga kerja yang produktif.Namun, di sisi lain tidak sedikit masyarakat, termasuk penduduk DIY, yang mengalami kesulitan biaya untuk melakukan "investasi" di bidang tenaga kerja produktif itu. Secara tidak langsung, fenomena itu tampak dari jumlah siswa putus sekolah, yang sebagian besar (2.588 siswa) berasal dari wilayah "miskin", yakni Gunung Kidul. Mereka umumnya tidak melanjutkan sekolah karena harus menghabiskan waktu untuk bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga.
43 Sekolah Dasar Digabung
LAMONGAN, Demi meningkatnya kualitas pendidikan, sebanyak 43 Sekolah Dasar di Lamongan akan digabung (regrouping). Ini juga dalam rangka efisiensi dan efektifitas pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lamongan Mustafa Nur menjelaskan, regrouping berarti menyatukan tiga sekolah dengan satu kepala sekolah namun tetap dengan jumlah pengajar yang sama dengan sistem pararel.
Setidaknya terdapat 677 SD Negeri, dan 633 Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Lamongan, yang perlu dibenahi dan dikembangkan pengelolaannya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, Pemerintah Kabupaten Lamongan mensosialisasikan regrouping diantaranya untuk SD V, SD VI dan SD VII Lamongan.
Upaya regroping itu telah disosialisasikan kepada 500 orang tua SD V, VI dan VII Lamongan Kamis (24/1). “Dengan regrouping ini kualitas pendidikan ditingkatkan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan fasilitas. Bila tiga sekolah itu di-regrouping akan menempati lahan SD V seluas 2.900 meter persegi,“ tutur Mustafa Kamis (24/1).
Wakil Bupati Lamongan Tsalits Fahami Zaka menegaskan Pemkab Lamongan akan memadukan 43 SD agar pengelolaannya bisa optimal. Jumlah lembaga di Kabupaten Lamongan sekitar 2.270 lembaga pendidikan negeri dan swasta. Agar efektif perlu perampingan lembaga.
"Regrouping didasari Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Nomor 421/68/1998. Biaya pendidikan cukup tinggi. Dengan cara menyatukan tiga sekolah sekaligus dianggap lebih efisien dan ini menjadi percontohan bagi SD lain di daerah,“ jelas Tsalist.
Dia menambahkan alasan mendasar regrouping lainnya karena masalah pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, guru, orang tua dan masyarakat. Dalam sejarahnya dulu didirikan SD Induk dan SD Intruksi Presiden (Inpres).
Menurut dia salah satu cara meningkatkan kualitas pendidikan adalah perlunya membekalali pendidikan bilingual bagi siswa SD. Salah satunya dengan cara menambahkan pelajaran bahasa China selain bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
“Kenapa Bahasa China, karena saat ini China sedang menguasai pasar Asia. Barang produksi China mendominasi pasar Internasional. Dengan menguasai bahasa China, SDM Lamongan kelak dapat berkompetisi dengan bangsa lain,“ kata Tsalist.

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita
MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua indikator penting sebagai berikut:Akses terhadap pendidikanAkses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7 persen) cukup rendah.Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya melanjutkan ke SMP/MTs.Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan sekolah tepat waktu.Kualitas pendidikanSebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan. Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku IPA).Mencari solusiRata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan, yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak sendiri.Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain, khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena sensitif.Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak demikian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar