Senin, 25 Mei 2009

pendidikan layanan khusus

Pandangan Awam mengenai Anak Berkebutuhan Khusus
Tidak ada satu anak manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sama antara yang satu dengan lainnya. Tidak ada satu anak manusia yang tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang ibu yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan. Oleh sebab itu, sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.
Kelahiran seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari kecacatannya secara fisik, mental atau sosial. Tuhan melihat manusia dari ketakwaan kepada-Nya.
Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. ABK memilki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.
Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar (SD) umum dimanapun adanya, melarang ABK untuk masuk ke sekolah tersebut. Bersama Guru Pembimbing Khusus yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan PLB, sekolah dapat merancang pelayanan PLB bagi anak tersebut yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Apakah anak tersebut membutuhkan kelas khusus, program khusus dan/atau layanan khusus tergantung dari tingkat kemampuan dan kondisi kecacatan anak.
Semakin dini ABK diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan anak seusianya, semakin kuat mental ABK menghadapi tantangan yang ada di lingkungan tempatnya berada. Ia juga akan jauh lebih berkembang bila dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan. Semakin dini mendapatkan layanan pendidikan, semakin baik hasil yang diperoleh. Sesuai dengan pengalaman, keuntungan PLB di lingkungan sekolah biasa ini tidak hanya diperoleh ABK saja melainkan akan dialami oleh anak-anak normal lainnya.
Banyak orang awam berpandangan yang salah tentang pendidikan bagi ABK. Seolah-olah PLB hanya ada di SLB. Kencenderungan orang-orang yang pengetahuan mengenai ABKnya masih kurang bila menemukan anak yang menyandang kelainan atau ABK, mereka langsung menyuruh untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Hal ini tidaklah benar, sebab SLB bukan habitatnya. Habitat ABK sama dengan habitat anak pada umumnya yang normal. Ia berada di lingkungan SLB bila di Sekolah Biasa sudah tidak dapat menangani pendidikannya atau memang kehendak dan hak dari anak itu sendiri.
Pandangan lain yang salah dari sebagian besar orang umum yaitu seolah-olah PLB hanya bisa diberikan di SLB atau seolah-olah PLB itu sama dan identik dengan SLB. Hal tersebut tentu saja tidak benar, sebab pelayanan PLB bisa diberikan di sekolah biasa dengan pembelajaran yang di adaptifkan pada anak berdasarkan kelainan dan karakteristiknya oleh guru biasa. Karena itu, informasi tentang Pembelajaran adaptif bagi ABK perlu juga bagi Guru biasa, sehingga bila ABK datang ke sekolah biasa dapat diberikan pelayanan PLB.
Mengacu pada perkembangan Paradigma baru tentang PLB dan hak asasi anak, maka PLB bergerak dari pendidikan yang bersifat terpisah atau segregasi ke arah pendidikan bersifat integrasi (terpadu). Kenyataan di Indonesia yang tidak bisa disangkal, SLB masih dominan sebagai tempat pendidikan formal anak berkebutuhan khusus. Dimanapun ABK bersekolah pembelajaran adaptif tetap dibutuhkan.

IDENTIFIKASI ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Tunanetra (anak yang mengalami gangguan penglihatan)
1. Tidak mampu melihat,
2. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
3. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
4. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
5. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
6. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
7. Mata bergoyang terus.
• Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra.
• Tunarungu (anak yang mengalami gangguan pendengaran)
1. Tidak mampu mendengar,
2. Terlambat perkembangan bahasa,
3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
5. Ucapan kata tidak jelas,
6. Kualitas suara aneh/monoton,
7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
8. Banyak perhatian terhadap getaran,
9. Keluar nanah dari kedua telinga,
10. Terdapat kelainan organis telinga.
• Nilai standarnya 7.
• Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
1. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
3. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
4. Terdapat cacat pada alat gerak,
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
• Nilai standarnya 5.
• Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
1. Membaca pada usia lebih muda,
2. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
3. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
4. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
5. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
6. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
7. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
8. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
9. Dapat memberikan banyak gagasan,
10. Luwes dalam berpikir,
11. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
12. Mempunyai pengamatan yang tajam,
13. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap
14. tugas atau bidang yang diminati,
15. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
16. Senang mencoba hal-hal baru,
17. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
18. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah,
19. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
20. Berperilaku terarah pada tujuan,
21. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
22. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
23. Mempunyai daya ingat yang kuat,
24. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
25. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
26. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
• Nilai standarnya 18.
• Tunagrahita
1. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu
2. kecil/besar,
3. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
4. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
5. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan
6. (pandangan kosong),
7. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
8. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
• Nilai standarnya 4.
• Anak lamban belajar
1. Rata-rata prestasi belajarnya kurang dari 6,
2. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
4. Pernah tidak naik kelas.
• Nilai standarnya 3.
• Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
1. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
2. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
3. Kalau membaca sering banyak kesalahan
• Nilai standarnya 3.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
1. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
2. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
3. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
4. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
5. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
• Nilai standarnya 4.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
1. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
2. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
3. Sering salah membilang dengan urut,
4. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
5. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
• Nilai standarnya 4.
• Anak yang mengalami gangguan komunikasi
1. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain,
2. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide,
3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4. Kalau berbicara sering gagap/gugup,
5. Suaranya parau/aneh,
6. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel,
7. Organ bicaranya tidak normal/sumbing.
• Nilai standarnya 5.
• Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku)
1. Bersikap membangkang,
2. Mudah terangsang emosinya,
3. Sering melakukan tindakan aggresif,
4. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
• Nilai standarnya 4.

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

NTT selenggarakan pendidikan layanan khusus
KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *

70.000 Penduduk Sulbar Buta Aksara
MAMUJU, - Sekitar 70.000 dari sekitar satu juta orang jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Barat masih menyandang status buta aksara. Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulbar Jamil Barambangi di Mamuju, mengatakan, dari 70.000 penduduk Sulbar yang buta aksara tersebut, sekitar 57 persen di antaranya adalah kaum perempuan.
Ia mengatakan, tingginya angka buta aksara di wilayah ini akibat banyaknya anak usia sekolah tidak mengecap pendidikan serta terbatasnya kesempatan masyarakat untuk belajar membaca.
Menurut dia, banyaknya masyarakat tidak mengecap pendidikan karena masih rendahnya kesadaran atau minat untuk menyekolahkan anaknya, khususnya kalangan masyarakat yang berada di daerah terpencil atau terisolasi.
“Selain itu, juga akibat keterbatasan infrastrukrur pendidikan di daerah ini seperti sarana dan prasarana belajar mengajar yang belum memadai,” ujarnya. Oleh karena itu, pihaknya telah memprogramkan tahun 2009 untuk mengembangkan taman baca masyarakat (TBM) pada lokasi yang stratebis untuk menjangkau dan menarik minat baca masyarakat.
“TBM tersebut ditempatkan pada lokasi strategis seperti terminal agar seluruh lapisan masyarakat terutama nelayan dan petani yang selama ini kurang berminat membaca, dapat menjangkau tempat bacaan itu,” ujarnya.
Jamil menambahkan, khusus untuk wilayah pesisir, pihaknya memprogramkan “kapal pintar” untuk memenuhi kebutuhan membaca msyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan di gugusan Pulau Balak Balakang yang terletak di perairan Selat Makassar.
Ia mengatakan, Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sultra terus berupaya membenahi pembangunan infrastruktur pendidikan dengan memanfaatkan anggaran APBN 2009 sekitar Rp 230 miliar dan APBD 2009 sekitar Rp 22 miliar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar