Senin, 25 Mei 2009

pendidikan informal

Pendidikan Luar Sekolah
Globalisasi berarti interaksi terbuka tanpa batas wilayah dan geografis yang jelas. Masyarakat di suatu daerah dapat berinteraksi secara sosial dan ekonomi dengan masyarakat lain di belahan bumi lainnya tanpa kendala yang berarti.Untuk mencegahnya?! Sebaiknya tidak usah repot dipikirkan. Karena kekuatannya yang sangat dahsyat, hampir mustahil upaya pencegahannya dilakukan. Lagi pula fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari perkembangan dan kemajuan peradaban manusia itu sendiri.Sejak ada di muka bumi, manusia menyatu dengan sifat dasarnya yang serba ingin tahu. Dan itu adalah berkah dari Allah SWT-Tuhan semesta alam, karena dengan hal itu manusia menapaki berbagai kemajuan dalam menjalani kehidupannya. Dan kemajuannya dalam hal bagaimana cara berinteraksi dengan sesama manusia menjelma dalam fenomena yang kita sebut dengan globalisasi. Bukankah secara mendasar manusia juga perlu berinteraksi dengan manusia lain ?! Zoon politicon-manusia merupakan makhluk sosial, demikian kata filsuf Aristoteles.Yang terpenting adalah bagaimana kita dapat tetap survive dalam globalisasi. Menyangkut hal ini, penulis melihat adanya keterkaitan yang sangat erat dengan pendidikan. Karena survive dalam globalisasi sangat berkaitan dengan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang unggul akan dapat survive, atau malah dapat memanfaatkan fenomena globalisasi menjadi suatu kekuatan yang sangat dahsyat. Begitu sebaliknya, sumber daya manusia yang lemah hanya akan tertindas dan merasakan kesulitan hidup karena tidak dapat bersaing dengan yang lainnya. Pendidikan adalah sarana peningkatan sumber daya manusia yang dimaksud. Karenanya penulis akan membahas keterkaitan antara globalisasi dan pendidikan, khususnya pendidikan luar sekolah.Jalur PendidikanPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar manusia secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki pengetahuan, mental serta keterampilan yang diperlukannya dalam menjalani kehidupan.Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dibagi menjadi 3 (tiga) jalur, yaitu pendidikan formal, non formal dan informal.Pertama, pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang terdiri atas pendidikan menengah umum, misalnya Sekolah Menangah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA), serta pendidikan menengah kejuruan, misalnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.Kedua, pendidikan non-formal yang merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, seperti Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.Pendidikan non formal sendiri berfungsi sebagai pengganti, penambah ataupun pelengkap dari pendidikan formal. Sebagai subtitute pendidikan formal, artinya pendidikan non formal dilaksanakan sebagai pengganti pendidikan formal bagi masyarakat yang karena alasan tertentu (seperti biaya pendidikan), sehingga tidak dapat mengikuti pendidikan formal. Contohnya Kejar Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA.Sebagai supplement dan complement pendidikan formal, yaitu sebagai penambah dan pelengkap pengetahuan dan keterampilan yang masih kurang didapatkan dari pendidikan di sekolah (pendidikan formal). Misalnya kursus, bimbingan studi, training dan lainnya.Lembaga pendidikan non formal misalnya seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.Ketiga, pendidikan informal, yaitu pendidikan yang dilakukan keluarga dan lingkungan. Sebelumnya, jalur pendidikan hanya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sitem Pendidikan Nasional.Namun ada sedikit perbedaan dengan ditetapkannya Undang-undang yang baru, yaitu No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan sekolah disebut dengan pendidikan formal, sedangkan pendidikan luar sekolah dibagi menjadi pendidikan non formal dan informal.Karena kebiasaan penggunaan istilah, sampai saat ini istilah pendidikan luar sekolah masih sering digunakan. Bahkan dalam struktur pemerintahan pada Dinas Pendidikan, istilah pendidikan luar sekolah masih digunakan sampai saat ini. Dengan alasan itulah penulis menggunakan istilah tersebut.Pendidikan Luar SekolahDari berbagai jalur pendidikan tersebut, memang pendidikan sekolah merupakan jalur yang paling dominan dan diutamakan. Mungkin akan sangat gampang jika kita ingat-ingat fenomena pendidikan di tengah masyarakat, bagaimana pendidikan sekolah secara umum hampir menjadi 'siklus wajib' kehidupan seseorang. Ketika sudah berusia 6 tahun maka harus masuk ke Sekolah Dasar (SD), setelah lulus akan mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), kemudian ke Sekolah Menengah Atas (SMA), lalu ke Perguruan Tinggi. Di luar sekolah tersebut, dapat saja seseorang mengikuti bimbingan studi, kursus bahasa asing ataupun komputer misalnya yang sifatnya hanya tambahan.Paradigma tersebut tidak dapat dianggap salah, karena pendidikan sekolah adalah yang utama dan pendidikan luar sekolah bersifat pelengkap ataupun tambahan. Namun karena pendidikan sekolah sudah dianggap sesuatu hal yang 'wajib' dan primer dalam proses pendidikan, karenanya penulis tidak akan membahasnya lagi.Menyangkut fenomena globalisasi, penulis akan membahas 2 (dua) konteks penting yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan luar sekolah.Pertama, globalisasi berarti persaingan terbuka. Persaingan dalam bidang apa pun yang bermuara pada persaingan sumber daya manusia. Pertanyaannya adalah, siapkah sumber daya manusia kita bersaing secara terbuka dengan orang lain secara terbuka? Pertanyaan yang lumayan 'menakutkan' sehingga cukup untuk mengernyitkan dahi kita.Yah, siap ataupun tidak jalan terbaik adalah terus mempersiapkan diri meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada.Tuntutan akan kemampuan lebih dalam persaingan, tidak memungkinkan pendidikan sekolah untuk dapat memenuhinya secara baik. Karenanya, pendidikan luar sekolah mengambil peran yang sangat signifikan sebagai media subtitute, supplement dan complement agar kualitas sumber daya manusia dapat meningkat dengan baik. Sejak dini anak-anak sudah harus belajar dalam kelompok bermain, kemudian kursus bahasa asing, bimbingan studi, kursus komputer dan pengasahan kemampuan lainnya.Kedua, globalisasi berarti interaksi sosial terbuka. Berbagai informasi tentang budaya lain tidak akan mungkin terbendung. Dalam keadaan seperti ini, filterisasi budaya baik dan yang dianggap kurang baik hanya dapat dilakukan oleh penilaian manusianya sendiri. Penilaian itulah yang dipengaruhi oleh mental dan spiritual manusia yang bersangkutan. Dalam kaitan inilah pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan keluarga dan lingkungan akan sangat diperlukan.Pembinaan mental dan spiritual banyak dibina di kehidupan keluarga dan lingkungannya. Penanaman nilai baik-buruk, benar-salah dan sebagainya dominan dibentuk dalam interaksinya sehari-hari dalam realitas kehidupannya.Kedua hal ini merupakan hal penting yang menunjukkan keterkaitan antara pendidikan luar sekolah dengan globalisasi. Dengan keterkaitan ini pula, tampak jelas bahwa pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan sesuatu yang integral dalam melakukan proses pendidikan.Hanya dengan begitu tujuan pendidikan untuk berkembangnya potensi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab seperti yang diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 dapat terwujud.

Perbanyak Sekolah Informal
Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.
Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.
Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.
Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.
Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini.
Menakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang
(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.
"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).
Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.

Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Informal Pendidikan Non Formal Homeschooling
Homeschooling Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Informal Pendidikan Non Formal Home Schooling Sekolah Paket A Sekolah Paket B Sekolah Paket C Sekolah Kesetaraan Sekolah Setara Sd Sekolah Setara Smp Sekolah Setara Sma Sekolah Setara Ma Sekolah Setara Aliyah Sekolah Setara Sltp Sekolah Setara Slta Sekolah Persamaan Dki Jakarta Pusat Sekolah Paket B Sekolah Paket C Pendidikan Paket B Pendidikan Paket C Pendidikan Kesetaraan Pendidikan Setara Smp Pendidikan Setara Sma Sekolah Setara Smp Sekolah Setara Sma Kejar Paket B Kejar Paket C Pkbm Sekolah Kesetaraan Pendidikan Kesetaraan Pendidikan Setara Sd Pendidikan Setara Smp Pendidikan Setara Sma Pendidikan Setara Madrasah Pendidikan Setara Ma Pendidikan Setara Aliyah Pendidikan Setara Ibtidaiyah Pendidikan Setara Tsanawiyah Kejar Paket A Kejar Paket B Kejar Paket C Pkbm Pendidikan Keaksaraan Pendidikan Luar Sekolah Ujian Kesetaraan Belajar Paket A Belajar Paket B Belajar Paket C Belajar Setara Sd Belajar Setara Smp Belajar Setara Sma Belajar Setara Ma Belajar Setara Aliyah Belajar Setara Sltp Belajar Setara Slta Belajar Setara Ibtidaiyah Belajar Setara Tsanawiyah Belajar Setara Smu Belajar Setara Smk Belajar Setara Smkk Pendidikan Alternatif Pendidikan Sepanjang Hayat Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Informal Pendidikan Non Formal Di Dki Jakarta Pusat

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah. Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12). ”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo. Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal. AkreditasiLembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi. ”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya. Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja. Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar