Senin, 25 Mei 2009

pendidikan keagamaan

Pendidikan Keagamaan dalam Keprihatinan
Supriyono
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung
Dari segi hukum, kelangsungan pendidikan keagamaan mendapat kedudukan cukup kuat. Namun, "porsi" yang diberikan pendidik di sekolah masih jauh dari harapan karena target waktu yang dijatahkan tidak lebih dua jam seminggu dari keseluruhan paket kurikulum.
Lebih kacau lagi, dalam prakteknya banyak siswa menengah yang sengaja tidak masuk jam pelajaran agama. Belum lagi materi yang diajarkan; jauh dari upaya mendukung peserta didik bertakwa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur.
Ledakan-ledakan perkelahian antarsesama pelajar, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, berani dan melawan terhadap guru/orang tua dan lainnya menjadi cermin belum berhasilnya pendidikan agama di sekolah. Kegagalan dunia pendidikan juga tak luput dari pengaruh hiburan misalnya televisi, video, sinetron, bacaan-bacaan yang tidak mendukung pendidikan agama. Semua itu sesungguhnya dapat memengaruhi sikap dan perilaku anak didik yang sadar atau tidak sadar pada gilirannya akan mencetak sifat dan akhlak anak berbuat tidak baik.
Kriris multidimensi seperti dekadensi moral sedang terjadi di Tanah Air. Ini akibat usaha pemisahan-pemisahan kehendak-kehendak Allah yang bersemayam dalam kehendak hati nurani manusia dengan kehendak pribadi manusia yang cenderung egois. Hidupnya jauh menyimpang dari garis edar yang fitrah. Tujuan hidupnya melawan mekanisme alam serta mencoba menentang kekuasaan Maha Perkasa.
Kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan-tangan manusia, yang jauh dari sentuhan akhlakul karimah. Sebaliknya hanya mengandalkan nafsu meraih cita-cita hingga menghalalkan segala cara, tidak peduli merusak ekosistem alam, lingkungan dan makhluk lainnya di muka bumi ini.
Pendidikan agama yang diberikan karena itu harus menyentuh aspek akidah dan akhlak peserta didik. Memang dalam kurikulum, pendidikan agama Islam sudah dibagi dalam sub-sub pelajaran yang akan diajarkan, misalnya bidang Alquran, akidah, akhlak, tarik Islam, dan muamalah.
Paling tidak, bidang akidah dan akhlak harus diprioritaskan. Isinya tentu lebih banyak bersifat nasihat yang menyentuh hati nurani, dari pada ilmu yang menyentuh akal pikiran.
Mengasah otak memang penting, bahkan saking pentingnya banyak lembaga pendidikan yang mengadakan kompetisi atau lomba yang berorientasi pada kecerdasan akal. Sedikit sekali kita temukan lomba yang berorientasi pada kecerdasan hati dan spiritual. Padahal kecerdasan akal tidak otomatis membawa anak itu menjadi baik dan bermoral.
Bahkan keberhasilan seseorang tidak dipengaruhi kecerdasan intelektualnya, justru banyak ditentukan kecerdasan emosi dan spiritual (kecerdasan hati dan agama). Maka tidak heran banyak anak yang tidak pandai, tapi ia sukses karena ia mempunyai kecerdasan hati dan berakhlak mulia.
***
Dewasa ini, pendidikan keagamaan sudah tidak lagi menjadi hal utama dalam proses belajar mengajar, khususnya pendidikan agama Islam. Ditambah lagi dengan tidak dimasukkannya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam subjek ujian nasional (UN). Peserta didik akan lebih mengutamakan enam subjek UN dibandingkan mempelajari Pendidikan Agama Islam yang nantinya tidak mendukung angka-angka pencapaian standar kelulusan.
Di sini terjadi salah persepsi dengan mata pelajaran agama Islam. Selama ini, di sekolah kita hanya mempelajari agama berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah untuk mencari angka dan nilai dalam waktu belajar 2 x 45 menit dalam satu minggu.
Dalam pendidikan di sekolah, pada dasarnya semua guru terlibat dan bertanggung jawab dalam upaya membentuk sikap dan perilaku peserta didiknya menjadi baik, walaupun tidak mustahil selama ini guru agama yang dianggap paling berperan dan bertanggung jawab terhadap sikap dan perilaku anak didik di sekolah.
Persoalannya, bagaimana pendidikan agama di sekolah dapat menciptakan suasana yang dapat memotivasi anak untuk gandrung (cinta) pada materi agama juga menciptakan kebiasaan hidup sehari-hari dengan akhlak mulia.
Kebiasaan yang baik dimulai dari sekolah. Ini akan menjadi kiat yang baik dalam mendidik akhlak si anak. Misalnya, di sekolah dibiasakan salat berjemaah, membaca Alquran sebelum jam pelajaran, doa dan zikir bersama tiap minggu, diadakan lomba-lomba keagamaan dan lainnya. Ini dapat memotivasi anak untuk ikut andil dalam merubah pola pikir dari antiagama menjadi cinta agama.
Pendidikan kita dengan sekolah sebagai ujung tombaknya diharapkan mampu menumbuhkan manusia berkepribadian sehingga dapat mengikis mentalitas masyarakat yang semakin terkontaminasi budaya luar. Untuk menumbuhkan kepribadian peserta didik dalam interaksi pembelajaran dibutuhkan peran signifikan guru dan optimalisasi budaya sekolah. Peserta didik hendaknya diarahkan untuk menemukan jati dirinya dan kemampuan intelektual maupun bakat-bakat yang dimilikinya, jadi tidak sekadar menerima pelajaran.
Setiap peserta didik harus mengalami bahwa ia dihargai karena dia sendiri bukan karena prestasi atau orang tuanya. Mereka juga harus diarahkan untuk bersikap aktif, memikirkan apa yang dipelajari, kritis serta dewasa dalam menilai masalah yang dihadapi. Peserta didik juga perlu diajak mencermati problematika soial, politik, budaya, ekonomi dan hal-hal yang terjadi di kelas atau masyarakatnya agar tumbuh sikap dan perilaku sosial dan humanismenya.
Dengan demikian, sistem pengajaran yang selama ini diterapkan perlu dievaluasi. Mengingat anak sekarang lebih banyak menyerap input-input dari bermacam-macam informasi dan pengalaman yang berkembang. Sementara metode dan penyajian materi yang diberikan oleh guru-guru kadang-kadang monoton tidak bisa memotivasi anak dalam belajar.
Tentu ini hanyalah sebagai bahan renungan dan evaluasi bagi kita, khususnya guru agama disekolah dan mengenai pemecahannya diserahkan kepada masing-masing sesuai dengan kondisi yang ada. Harapan kita bahwa pendidikan keagamaan harus kembali kita jadikan pelajaran primadona, untuk mencegah dari tindakan kriminal yang masih banyak dilakukan oleh siswa-siswa sekolah.

Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan
PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatankualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.
Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut.
Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.

Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.
Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan.
Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.
“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.(

KKMD Genjot Pendidikan Keagamaan
LOSARANG— Kelompok Kerja Madrasah Diniyah (KKMD) Kecamatan Losarang menggelar aneka lomba religi, Minggu (19/4), bertempat di kantor kuwu Desa Jangga, Kecamatan Losarang. Sebanyak 325 peserta dari 30 madrasah diniyah turut ambil bagian, mengikuti qiroatul quran, khotul quran, kaifiyat adzan, kaifiyat wudhu dan salat serta cerdas cermat keagamaan.
Ketua KKMD Kecamatan Losarang Kamali Noor mengatakan, kegiatan itu merupakan rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. “Kami putuskan mengadakan kegiatan ini usai pemilu guna menghindari masuknya orang luar dengan tujuan tertentu,” tandasnya. Selain sebagai ajang untuk menguji kualitas para anak didik di madrsah diniyah, kata Kamali, even itu juga menjadi jembatan silaturahmi antarguru madrasah.
Pihaknya bertekad memajukan pendidikan keagamaan melalui lembaga madrasah. “Alhamdulillah, pelaksanaan kegiatan ini disambut antusias para kepala madrasah, guru dan murid-murid. Kami berharap ke depan akan lebih baik lagi dan bisa memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan keagamaan di Indramayu,” harapnya. (tar)

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak
Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.
“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.
“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.
Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif
DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).
Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).
Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.
Panduan etika kehidupan
Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.
Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.
Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.
Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.
Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.
Sikap kritis dan peduli lingkungan
Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.
Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.
Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.
Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).
Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.
Kesalehan pribadi dan sosial
Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.
Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.
Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.
Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.
Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.
Jiwa keagamaan yang inovatif
Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.
Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.
Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.
Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar