Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus 5

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan Memang Beda.
Rabu, Kompas, 2 Maret 2005, hal 9

HATl -hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit
berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat
perkembangan intelegensia anak.
Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung
dicap tuna grahita itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang
disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
"Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara
autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan
yang diberikan pun harus berbeda," ujar Mudjito, Di- rektur Pendidikan
Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar "Memahami dan Mencari Solusi
Kesulitan Belajar pada Anak Autisme" di Depok, Ja-wa Barat, Sabtu
(26/2).Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan
berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris,
pola bermain, dan emosi. Pe nyebabnya karena antarjaringan dan fungsi
otak tidak sirkron . Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya bia-
sa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu
kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gi-zi ke
ibunya tak seimbang.Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami
hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya
tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas
akademik. Ini karena per- kembangan otak dan fungsi sarafnya tidak
sempurna.
Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
"Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit
berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada situasi tertentu
anak-anak autis bisa le- bih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi
anak-anak normal seusianya," tambahMudjito.
DALAM seminar yang me-nampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur
Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ely
Soekresno Psi (kon-sultan anak berkebutuhan khusus) tersebut terungkap
bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri
dan isme yangn berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik
hanya pada dunianya sendiri.

Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan
lingkungan sosial.


"Pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak
autis. Misalnya, mengonsurnsi makanan dan minuman tanpa pengendalian
mutu, termasuk makanan cepat sajii. Bisa juga karena buah dan sayuran
yang dikon-surnsi mengandung pestisida."

awal Februari lalu, para
ilmuwan yang bertemu pada "Autisrn Summit" di Califor- nia, Amerika
Serikat (AS), se pakat bahwa gejala autisme disebabkan oleh interaksi
sejumlah gen dengan fak- tor-faktor lingkungan yang belum
teridentifikasi.
Mengiltip International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan,
ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama,
zat putih pada otak yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah
terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada
usia 2 tahun, zat putih ini diternui secara berlebihan di lobes bagin
depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan
tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil da- ripada rata-rata
lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan,
tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6
bulan-2 ta- hun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun.
Ukuran otak anak autis ber-usia 5 tahun lebih kurang sa- ma dengan
ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme ju- ga dapat disebabkan
oleh virus seperti rubella, toxo, her- pes, jamur, nutrisi buruk,
pendarahan, dan keracunan ma- kanan saat hamil. Hal itu menghambat
pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang
dikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, ko- munikasi, dan
interaksi.Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada
masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya,
mengonsumsi makanan dan mi- numan tanpa pengendalian mutu, termasuk
makanan ce- pat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsum- si
mengandung zat pestisida.Tak pelak, prevalensi (pe- luang terjadinya)
autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dan hanya 4-5 anak yang
autis per 10.000 kelahiran na- ik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran
pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, su-dah mencapai 60 per 10.000
kelahiran.
Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indone-sia. Namun,
mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambah
masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya di- yakini mirip
AS. "Di sekolah-sekolah luar yang berada di kota besar, tidak sulit
menemukan anak autis. Di peda- laman, hampir tidak ditemu-kan," papar
Mudjito.
la menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang
mernbuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola
pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis.


AUTISME hanyalah satu dan delapan jenis kelainan gejala khusus yang
menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkan
pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup
tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat
gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental),
dan tunalaras (ber- tingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di
Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. sarana pendidikan luar
biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Se- suai
Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak
berke-lainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara de-ngan
anak-anak lainnya.

Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendi- dikan inklusi, di
mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus,

terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya. pengadaan guru khusus
untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari
75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500
guru sekualifikasi itu yang terang kat. Padahal, secara nasional masih
dibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja
sulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap
tunagrahita. (NASRULLAH NARA)

Pendidikan Layanan Khusus 4

SLB KARTINI JADI SENTRA PK/PLK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Dengan keterbatasan dana yang ada, Ketua Yayasan Keluarga Batam (YKB): Ny. Sri Soedarsono (akrab disapa Bu Dar) memberanikan diri untuk memindahkan dan membangun gedung sekolah SLB Kartini di lokasi baru. Kondisi sekolah SLB lama dirasa sudah tidak begitu layak.
Pembangunan gedung sekolah baru SLB dimaksudkan untuk memberikan layanan terbaik kepada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sesuai dengan tuntutan dan harapan dunia internasional. Meskipun agak tersendat, karena terbatasnya dana pembangunan yang dimiliki yayasan, akhirnya gedung sekolah SLB kini telah dapat digunakan.
Kini anak-anak SLB Kartini dapat tersenyum ceria menempati gedung yang tampak megah di lokasi komplek Sumber Agung Sei. Jodoh Batam. Anak-anak ABK pun kini bisa belajar berdampingan satu lokasi dengan TK Kartini II, SD Kartini II, dan SMP Kartini II. Barangkali inilah langkah awal penerapan sistem pendidikan inklusi, di mana anak-anak ABK sudah dapat bergaul bersama dalam satu lokasi tanpa adanya pembedaan.
Selanjutnya, melalui surat nomor: 517/C6/DS/2006 tertanggal 6 Juli 2006, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa menunjuk SLB Kartini Batam menjadi Sentra

PK/PLK di wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dalam beberapa kesempatan ketika berkinjung ke SLB Kartini, Direktur PSLB menyatakan, bahwa sebagai Sentra PK/PLK Provinsi Kepri, SLB Kartini akan kembangkan menjadi tempat diklat anak-anak ABK, khususnya dalam bidang tata boga, tata busana, dan tata rias.
Sementara itu, dalam kesempatan yang lain, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bapak Prof. Br. Bambang Sudibyo yang juga pernah mengunjungi SLB Kartini telah memberikan beberapa arahan untuk kemajuan pendidikan dan percepatan pendidikan inklusi di Batam, khususnya tentang SLB Kartini Batam yang menjadi ikon sentra PK/PLK di wilayah provinsi Kepri.
Bapak Menteri juga menegaskan tentang pentingnya mewujudkan komitmen Deklarasi Dakar (2000) tentang program ”Education For All” (Pendidikan Untuk Semua), yaitu:


1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.

Selanjutnya, SLB yang telah memperoleh kepercayaan menjadi sentra PK/PLK di provinsi Kepri ini terus melakukan pembenahan dan perbaikan manajemen layanan kepada para ABK. Sebagai bukti bahwa SLB Kartini juga berkomitmen untuk mewujudkan program pendidikan untuk semua, saat ini tengah dilakukan beberapa program terobosan guna melaksanakan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).
Sesuai dengan amanat UU Sisdiknas, bahwa PLK adalah layanan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Adapun program PLK yang saat ini sedang dilaksanakan adalah :
1. Program Layanan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah yang terjerumus dalam perbuatan tindak pidana sehingga menjadi penghuni Lapas. Anak-anak tersebut tentunya tetap berhak mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana mestinya. Program ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Kepri dan Lapas Batam.
2. Program layanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Sebab, fenomena anak jalanan yang ada di Batam, meskipun jumlahnya tidak begitu besar, seperti halnya di kota Jakarta, Bandung dan Semarang, keberadaannya tetap memerlukan penanganan cermat dalam bentuk pembinaan dan pemberdayaan. Apa lagi kota Batam di kenal sebagai pintu masuk keluar negeri, seperti ke Singapura dan Malaysia, sehingga praktek perdagangan anak untuk keperluan bisnis sangat rentan terjadi. Program ini dilaksanakan oleh SLB Kartini bekerjasama dengan Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB) Cabang Batam.
3. Program layanan pendidikan bagi anak-anak yang berada di hinterland. Program ini sangat penting, sebab banyak anak yang berada di pulau-pulau terpencil belum menerima layanan pendidikan sebagaimana mestinya. Program ini dilaksanakan bekerjasama dengan KKKS Kota Batam.


Meskipun program-program PLK tersebut belum optimal dilaksanakan, paling tidak program ini diharapkan menjadi motivator bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya dunia usaha yang berkomitmen membantu layanan pendidikan. Dengan kondisi serba terbatas SLB Kartini berusaha memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
Usaha dan terobosan yang dilaksanakan oleh SLB Kartini patut kita acungi jempol. Tidaklah berlebihan kalau SLB ini memperoleh sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2000, dan bahkan menjadi salah satu Sentra PK/PLK teladan dari Direktorat PSLB.
Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah, kini SLB Kartini telah memiliki sarana prasarana dan fasilitas lengkap, seperti peralatan dan bahan praktek untuk pelatihan bidang tata boga, tata busana, dan tata rias. Selain itu SLB Kartini juga dilengkapi fasilitas perpustakaan yang menyediakan koleksi buku, majalah dan tabloit. Tersedia juga buku dalam bentuk soft copy atau layanan perpustakaan digital.
Di bawah bimbingan dan asuhan guru-guru yang berpengalaman anak-anak SLB dapat menikmati layanan pendidikan secara terkontrol. Pola pembelajaran di SLB tentu berbeda dengan pola pembelajaran di sekolah umum. Sebab penanganan anak-anak ABK pada umumnya lebih sulit karena adanya keterbatasan dalam bidang-bidang tertentu.
Dengan diterapkannya sistem inklusi ini, bukan tidak mungkin nantinya ada anak-anak ABK dapat belajar sekelas dengan anak-anak normal, khususnya dalam mata pelajaran tertentu yang memungkinkan. Itu artinya, guru-guru umum yang selama ini mengajar anak-anak normal harus juga mampu bagaimana menangani anak-anak ABK bila sistem kelas inklusi ini diterapkan.
Yayasan Keluarga Batam (YKB) bekerjasama dengan pihak luar, selalu berusaha memberikan diklat kepada guru-guru umum yang ada di lingkungan Sekolah Kartini tentang bagaimana menangani anak-anak ABK. Kelihatannya program ini terasa berat, namun usaha ini harus dilakukan selangkah demi selangkah. Sebab, ke depan sekolah Kartini harus bisa menjadi profil sekolah inklusi, di Batam dan di wilayah provinsi Kepri pada umumnya.

Pendidikan Layanan Khusus 3

SENYUM SIMPUL SISWA SLB KARTINI : MENJELANG IMPIAN YANG KINI NYATA

Kini semua anak berkebutuhan khusus yang ada di lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia bisa tersenyum lega manatap masa depan pendidikannya. Tidak terkecuali anak-anak yang ada di SLB Kartini. Sebab saat ini pemerintah telah melaksanakan program pendidikan inklusi secara nasional. Pidato Presiden RI tanggal 2 Mei 2005 pada saat memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menegaskan komitmennya untuk memulai sistem pendidikan inklusi secara nasional.
Dalam sistem Pendidikan inklusi, berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual . sosial emisional, linguistic atau kondisi jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah – pindah, atau kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak – anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.
Pelaksanaan sistem pendidikan inklusi secara nasional adalah sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 Sistem pendidikan nasional Indonesia (Sisdiknas), khususnya pasal 32 :
ayat (1) :Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Untuk percepatan pelaksanaan sistem pendidikan inklusi secara nasional, pemerintah melalui Direktorat Pembinaa Sekolah Luar Biasa (PSLB) mengembangkan beberapa Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (Sentra PK/PLK).
Melalui sentra ini anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di SLB sekarang ini bisa mendapatkan layanan pendidikan berkualitas dan skill sebagaimana anak-anak normal pada umumnya.

Pendidikan Layanan Khusus 2

Pendidikan Khusus Anak Korban Lumpur

Prakarsa Rakyat,
* Abdullah Yazid, peneliti FKIP Universitas Islam Malang, bekerja di Yayasan Averroes Malang
SEMBURAN lumpur panas PT Lapindo Brantas (Lapindo) yang tiada henti telah melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan di Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya. Imbasnya pun merembet ke segenap sektor riil dan pranata sosial yang ada di dalamnya. Pemerintah dituntut bertindak cepat dalam mengantisipasi dampak luas bencana itu.
Bidang pendidikan, salah satu sektor penting yang perlu diperhatikan. Anak-anak korban lumpur panas, yang tidak bisa lagi bersekolah dan saat ini tinggal di tempat-tempat penampungan, perlu dimotivasi kembali agar tetap mempunyai gairah belajar. Tanpa melupakan prioritas tindakan lain, seperti penanganan bencana lumpur, kebutuhan relokasi, atau ganti rugi tanah warga, anak-anak ini tetap tidak boleh terlalu lama meninggalkan bangku sekolah dan terus-menerus dibayangi ketakutan dan kesengsaraan hidup seperti yang mereka alami saat ini.
Melalui pendidikan layanan khusus, mereka dapat diberi pengertian multidimensi tentang apa yang sekarang mereka rasakan. Harapannya, mereka lebih tegar dan lebih siap lahir batin menatap kehidupan. Sebab, tekanan mental dan psikis biasanya cukup sulit dipulihkan pada diri anak-anak korban bencana, termasuk anak-anak korban lumpur panas yang saat ini sebagian besar tinggal di lorong-lorong kumuh pasar Porong dan Jalan Tol.
Luapan lumpur panas Lapindo memang bukan tergolong bencana akibat peristiwa alam mahadahsyat seperti gempa bumi atau tsunami yang terjadi belakangan ini. Hal itu terjadi karena kecerobohan manusia. Meski begitu, tetap saja ratusan bahkan ribuan anak menderita atas akibat yang ditimbulkannya.
Karena itu, kebijaksanaan dan perlakuan khusus model pendidikan di daerah bencana seyogianya juga diterapkan dan dijalankan di Sidoarjo. Sebab, hal ini telah secara tegas dikatakan oleh undang-undang mengenai pilihan model pemulihan pendidikan dengan layanan khusus yang mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 2 berbunyi: "Pendidikan layanan khusus diberikan kepada anak didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi."
Anak korban lumpur panas bisa dikategorikan sebagai anak didik yang terkena bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bencana sosial karena mereka ikut merasakan penderitaan dan ketidakjelasan atas keberlanjutan pendidikannya akibat efek luas yang ditimbulkan secara sosial. Mereka juga tidak mampu dari segi ekonomi karena sebagian besar orang tuanya telah kehilangan mata pencaharian akibat terendamnya sawah dan ladang oleh lumpur panas, serta diperkirakan tidak akan bisa dimanfaatkan kembali akibat ketidakpastian kapan berhentinya luapan lumpur.
Pendidikan layanan khusus ini tentunya juga harus mempertimbangkan persiapan mental para anak didik. Selain itu, konsepnya mesti lebih ditekankan pada pemulihan tekanan mental, traumatik, dan kesehatan kejiwaan mereka.
Apa yang terjadi di wilayah mereka merupakan pelajaran terpenting yang akan selalu dikenang. Secara psikologis, mereka tentunya lebih 'tahan banting' karena sudah mengalami penderitaan, kesulitan, dan tantangan hidup yang sesungguhnya. Falsafah yang pernah dilontarkan Rupert C Lodge dalam bukunya Philosophy of Education menjadi gambaran dari kondisi anak-anak korban lumpur sekarang; in this sense, life is education and education is life. Pelajaran terpenting yang telah termaterialisasikan dalam tiap-tiap pribadi anak-anak korban lumpur adalah pergulatan hidup yang sesungguhnya.
Beban mental dan psikologis anak-anak korban lumpur panas sudah barang tentu berbeda dengan generasi-generasi lain yang selalu dininabobokan kemapanan hidup. Anak-anak di pengungsian, setidak-tidaknya akan mampu mencapai taraf kemapanan berpikir rasional dengan berbagai macam musibah dan dinamika kehidupan di sekitar mereka. Sehingga, bisa jadi pelajaran kehidupan terpenting sebenarnya telah diserap dari bencana yang diderita.
Kita semua berharap agar pendidikan anak-anak korban lumpur panas menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Penanganan pendidikan semacam ini dimulai dengan penanganan psikologis. Spirit belajar dan rasa optimisme menghadapi hidup, gairah bermain, berbaur dengan teman-teman sebaya, dan keceriaan mereka harus dipulihkan. Langkah ini diperlukan demi mengembalikan semangat belajar pada usia anak didik.
Di samping itu, secara fisik rehabilitasi dan rekonstruksi secara sistematis, seperti penyediaan tenaga guru di tempat-tempat relokasi, sarana-sarana pendidikan, menempatkan mereka pada gedung sekolah yang jauh dari lokasi bencana, menata kembali program belajar yang tertunda dll juga harus dipertimbangkan.
Meski terkesan ala kadarnya, aspek dan fungsi-fungsi pokok pendidikan tetap tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pernah disinggung John Dewey, pendidikan harus didudukletakkan sebagai kebutuhan hidup (necessity of life), fungsi sosial (social function), bimbingan (direction), sarana pertumbuhan (growth), serta mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan (preparation, unfolding and formal discipline). Karena itu, pemulihan semangat dan pendekatan psikologis melalui infrastruktur dan pola pendidikan yang memadai setidaknya akan dapat memengaruhi perbaikan-perbaikan struktur sosial dan kejiwaan anak-anak korban lumpur Lapindo demi menatap cerahnya hari esok.
Sekali lagi, realisasi pendidikan layanan khusus harus benar-benar mampu merekonstruksi pendidikan bagi anak-anak korban lumpur panas Lapindo serta daerah-daerah pascabencana yang lain. Itu hanya bisa dicapai kalau pemerintah memang memiliki political will dan iktikad baik dalam memosisikan mereka sebagai generasi yang juga sepatutnya memperoleh kelayakan fasilitas, akses, dan atensi pendidikan seperti anak-anak lain.

Pendidikan Layanan Khusus 1

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

Pendidikan Khusus 5

Minggu, 28 Januari 2007
Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus
Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.
Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah a

Pendidikan Khusus 4

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.
Oleh : Nurma Cholida

04-Mei-2007, 16:18:18 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Pendidikan Khusus 3

Advokat Semestinya Jalani Pendidikan Khusus

Medan, Kompas - Mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengingatkan, advokat adalah profesi yang mulia sehingga mereka yang menjalani profesi ini harus benar-benar orang yang terpilih. Keterpurukan advokat bukan karena faktor lain, tetapi justru karena perilaku sejumlah advokat yang kurang profesional. Karena itu, seseorang yang akan menjadi advokat harus menjalani pendidikan khusus dan tidak cukup hanya bergelar sarjana hukum (SH).
Berbicara dalam Rapat Kerja Nasional (rakernas) X Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Medan, Kamis (12/9) malam, Ismail membandingkan profesi advokat dengan notaris. "Seseorang untuk menjadi notaris harus menjalani pendidikan khusus, setara strata dua (S2). Semestinya advokat pun menjalani pendidikan yang sama," ujarnya.
Mantan Jaksa Agung itu mengharapkan, sejumlah fakultas hukum membuka program khusus advokat. Dengan begitu, kedudukan advokat-dari sisi keilmuan-setara dengan notaris yang jelas diakui spesialisasinya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dalam Undang-Undang (UU) Profesi Advokat nantinya ditegaskan calon advokat harus lulus lebih dahulu dari pendidikan spesialis tersebut.
Ismail menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang sarjana hukum sekadar mencoba-coba untuk menjadi advokat/pengacara. Sebab, selama ini syarat menjadi pengacara hanya harus bergelar SH dan menjalani ujian. "Coba-coba itu, kan, bukan ciri profesional. Tetapi, karena advokat tidak ada pendidikan spesialisasinya, ya ini bisa saja terjadi," katanya lagi.
Ismail juga mengingatkan, wajah advokat harus berbeda dengan jaksa atau hakim. Ukuran keberhasilan dan profesionalisme advokat pun bukan semata-mata materi atau uang. Advokat harus berupaya mewujudkan cita-cita kemandiriannya, yakni bebas dari semua bentuk intervensi. Advokat harus menjaga citranya sendiri.
Dalam rapat lanjutan Rakernas X AAI, kemarin, Ketua Dewan Kehormatan AAI Agus Takarbobir mengakui, rusaknya citra advokat memang bukan oleh pihak lain, melainkan oleh advokat sendiri. Tetapi, Dewan Kehormatan-sebagai hakim internal di kalangan advokat-tentu saja tidak bisa menjemput bola kalau ada advokat yang diduga melanggar kode etik. Dewan Kehormatan hanya bisa menunggu adanya pengaduan.
Selama tahun 2001 sampai Agustus 2002, lanjut Takarbobir, cuma satu perkara dugaan pelanggaran kode etik yang diterima Dewan Kehormatan Pusat AAI. Sebagian perkara, seperti lima kasus di DKI Jakarta dan tiga kasus di Makassar, diselesaikan Dewan Kehormatan cabang. (tra)

Pendidikan Khusus 2

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

Written by fisa Thursday, 04 September 2008 Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.
Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.
Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.
Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.
Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.
Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.
Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.
Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.
Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.
Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.
Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

Pendidikan Khusus 1

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Pendidikan Keagamaan 5

Pesantren dalam Dilema

Ditulis oleh Nur Hidayat

Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?

Peluang
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).
Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”. Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan selama ini tidak sah lagi diteruskan. Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantren pun diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.
Pada saat sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah sosial-politik-kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki ijazah ”pendidikan formal”.
Konsekuensinya, kedua institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut.
Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan ”fasilitas” yang akan diperoleh? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan yang termaktub dalam PP 55/2007.

Dilema
Terlepas dari berbagai ”janji sorga” yang disampaikan pemerintah, peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang.
Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-”make up” dengan istilah ”bantuan” dalam program bantuan operasional sekolah (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual adalah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang karut marut belakangan ini.
Kedua, terkait kecenderungan di atas, perlu juga diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan akreditasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada SNP (Pasal 19).
Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam ketentuan ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).
Artinya, untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan mutu. Dalam sebuah diskusi, penulis secara berkelakar menyampaikan bahwa jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru, maka Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga sertifikasi kiai.
Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah (Pasal 18).
Dibandingkan dengan draf awal rancangan PP ini yang disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya, ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP, pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan kepada Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.
Di atas itu semua, berbagai prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren –dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya-- akan tereduksi sebagai lembaga pendidikan semata.
Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya (Dian Nafi’ et al, 2007).
Keenam peran tersebut pada umumnya dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut. Karena itu, jika energi pesantren tersita untuk pemenuhan hal-hal yang bersifat administratif-birokratis, bukan tidak mungkin peran-peran lainnya akan tereduksi secara alamiah. Wallahu a’lam.

Pendidikan Keagamaan 4

Revitalisasi Pendidikan Pesantren

Friday, 02 May 2008
Dr Irwan Prayitno

Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.
Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.

Kebijakan diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa. Republika Online

Pendidikan Keagamaan 3

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)
lah Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendidikan Keagamaan 2

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif

Oleh M Amin Abdullah

DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).
Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).
Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.
Panduan etika kehidupan
Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.
Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.
Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.
Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.
Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.
Sikap kritis dan peduli lingkungan
Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.
Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.
Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.
Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).
Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.
Kesalehan pribadi dan sosial
Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.
Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.
Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.
Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.
Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.
Jiwa keagamaan yang inovatif
Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.
Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.
Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.
Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara ini.

Pendidikan Keagamaan 1

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin
YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

Pendidikan Anak Usia Dini 5

Pendidikan Usia Dini Berpusat pada Anak

Jakarta, Kompas - Pendidikan usia dini sebaiknya berpusat pada kebutuhan anak, yaitu pendidikan yang berdasarkan pada minat, kebutuhan, dan kemampuan sang anak. Oleh karena itu, peran pendidik sangatlah penting. Pendidik harus mampu memfasilitasi aktivitas anak dengan material yang beragam.
Demikian yang mengemuka pada seminar "Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Education" yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pendidik Anak Usia Dini Indonesia (Apiasia) di Jakarta, Sabtu (9/4).
Pengertian pendidik dalam hal ini tidak hanya terbatas pada guru saja, tetapi juga orangtua dan lingkungan. Seorang anak membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Seminar menampilkan dua pembicara, yaitu Asisten Wakil Kepala Sekolah Cita Buana Kerry Jones yang lebih dari 15 tahun menangani pendidikan usia dini dan Elga Andriana, Direktur Early Childhood Care and Development Resource Center di Yogyakarta.
Elga menekankan pentingnya peran aktif dari si anak dalam proses belajarnya. Berdasarkan minat dan kemampuannya, si anak berinisiatif dan bergerak aktif untuk mengeksplorasi langsung lingkungannya dengan menggunakan benda-benda konkret yang dekat dengan kehidupannya.
Oleh karena itu, Kerry Jones memberi satu strategi utama bagi pembelajaran anak, yaitu bermain. Bagi orang dewasa, bermain masih sering diartikan sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu. Padahal, sesungguhnya itu adalah sarana terbaik bagi seorang anak untuk belajar secara aktif dan menyenangkan.
Interaksi
Interaksi antara anak dan edukator sangat penting. Elga memaparkan, edukator hendaknya merespons dengan cepat dan langsung pada kebutuhan, keinginan, dan pesan anak, serta menyesuaikan respons terhadap perbedaan style dan kemampuan anak. Edukator juga harus memberi banyak kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi, memfasilitasi keberhasilan anak menyelesaikan tugas berupa dukungan, perhatian, kedekatan fisik dan dorongan. Orang dewasa paham bahwa anak belajar melalui coba-ralat dan bahwa kesalahpahaman anak mencerminkan perkembangan berpikirnya.
Edukator harus selalu memerhatikan tanda-tanda anak yang stres dan tahu cara membantu anak menghadapinya.
Orangtua merupakan pihak yang tepat dan bertanggung jawab untuk membagi dalam mengambil keputusan untuk anaknya, tentang apa yang berguna untuk anak dan pendidikannya. Orangtua harus didorong untuk memerhatikan dan berpartisipasi.
Guru juga perlu membagi pengetahuannya tentang perkembangan anak, pemahaman, dan sumber daya yang ada sebagai bagian dari komunikasi rutin sewaktu pertemuan dengan anggota keluarga.
Keputusan penting tentang anak, misalnya pendaftaran ke suatu sekolah atau lembaga, sebaiknya tidak dibuat berdasarkan satu asesmen perkembangan atau alat tes, melainkan berdasarkan hasil observasi guru dan orangtua.
Kerry Jones menambahkan, pembelajaran anak sebaiknya adalah dengan langsung mengerjakan. Anak-anak belajar langsung, konsentrasi pada pengalaman yang melibatkan sense mereka, mencoba untuk mengungkapkan ide-ide, serta melakukan hal-hal yang berarti untuk mereka. (LOK) Manado, 31 Agustus 2007

Pendidikan Anak Usia Dini 4

Pendidikan Usia Dini Siapkan SDM Berkualitas

By Republika Newsroom
Jumat, 23 Januari 2009 pukul 18:20:00
JAKARTA-- Investasi pendidikan sangat penting bagi negara mana pun. Pengembangan anak usia dini salah satu investasi penting untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan layanan pendidikan anak usia dini atau PAUD hingga ke seluruh pelosok Tanah Air adalah langkah baik untuk melahirkan SDM berkualitas di Indonesia.

"Pendidikan anak usia dini sekarang ini terus tumbuh karena masyarakat sudah sadar pentingnya PAUD. Perhatian dan dukungan dari pemerintah juga akan terus diperkuat hingga ke lembaga PAUD di tingkat desa," kata Sujarwo Singowidjojo, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (21/1).

Guna menelaah peran dan kontribusi PAUD dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan nasional, penyelenggaraan PAUD, serta strategi pengembangan PAUD secara holistik dan terpadu, pemerintah juga merangkul pihak swasta untuk berbagi ilmu. Seperti workshop yang diberikan oleh Yayasan High/Scope Indonesia.

"Saya sangat apresiatif dengan adanya kepedulian semua pihak terhadap pengembangan anak usia dini," imbuh Sudjarwo.

Pendidikan anak usia 0-6 tahun dinilai sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia yang fundamental dan strategis. Sebab, anak-anak ini berada dalam masa keemasan, sekaligus periode kritis dalam tahap perkembangan manusia.

Menurut Sujarwo, lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, terus meningkat. Saat ini ada 48.132 lembaga PAUD nonformal dengan 188.834 tutor. Pada 2009, pemerintah mengajukan anggaran untuk insentif tutor PAUD senilai Rp 1,2 juta per tahun bagi sekitar 50.000 tutor.

"Pusat memberi subsidi sebesar Rp 100 ribu untuk setiap tutur per bulannya, Untuk anggaran seluruh provinsi ada Rp 490 miliyar" imbuhnya.

Sudjarwo mengatakan saat ini pemerintah sedang menggodok sistem baru untuk PAUD. Selain itu juga akan ada penambahan tutor dan pelatihan bagi tutor serta modifikasi sistem pendidikannya.

"Kurikulum akan diperbaiki, kami harap PAUD dapat samapi ke daerah pelosok. Kami memprioritaskan masyarakat menengah ke bawah," kata Sudjarwo sambil menambahkan targetnya kurikulum yang baru akan selesai bulan April tahun 2009. (cr1/ri)

Pendidikan Anak Usia Dini 3

Posyandu, Harapan Pendidikan Anak Usia Dini

11/06/2007 - 14:06:08 | Read 279 Time(s)

"" SUARA ‘Bu Guru’ Siti Masyitoh hampir tak terdengar ditelan gemuruh celoteh murid-muridnya. .. ""
SUARA ‘Bu Guru’ Siti Masyitoh hampir tak terdengar ditelan gemuruh celoteh murid-muridnya. Maklumlah ruangan seluas sekitar 8x10 meter itu dipenuhi lebih dari 40 anak-anak kelas nol kecil, berumur 3-4 tahun.

Tingkah anak-anak itu pun macam-macam. Ada yang serius mengikuti instruksi Masyitoh untuk menyebutkan nama harihari. Ada yang sibuk mengobrol. Ada juga yang asyik berlarian. Ny Ncun yang menemani Masyitoh mengajar hanya tersenyum menyaksikan tingkah polah anak-anak itu.

Tiga orang ibu terlihat nongkrong di depan kelas menunggui anaknya. Sebagian lagi melongok dari jendela. Sisanya yang lebih banyak, mengobrol di emperan gedung karawitan di Kampung Belakang, RT 009/RW 3, Kelurahan Kamal, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, yang menjadi tempat anak-anak itu belajar.

Anak-anak itu terlihat menikmati belajarnya. Sebagian mereka mengenakan seragam olahraga berwana hijau, sebagian lagi berpakaian bebas. Walaupun mereka tinggal di Kota Jakarta, ‘sekolah’ mereka jauh dari memadai. Tak banyak alat peraga seperti yang biasa ditemui di taman kanak-kanak (TK) umumnya. Juga tidak ada lahan bermain yang berisi ayunan, prosotan, ataupun jungkatjungkit.

Guru-guru pun tidak berlatar belakang pendidikan khusus. Tenaga pengajar terdiri atas tujuh orang pengurus Posyandu yang berasal dari warga sekitar. Mereha hanya pernah ditatar tentang pendidikan anak usia dini di tingkat wali kota. ‘’Yang mengajar di sini semua ya kader Posyandu, semua sukarelawan,’’ kata Rolia Bakir, Ketua Posyandu Hanifa.

Menurut Rolia, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Hanifa, itu baru berdiri sekitar tiga bulan lalu. Semula kegiatan Posyandu hanya untuk menyangkut bidang kesehatan untuk balita dan ibu. Namun, kemudian ada tuntutan agar anak-anak usia prasekolah juga diberikan kegiatan. Gayung bersambut, kegiatan itu didukung pihak kelurahan dan wali kota.

Saat pertama PAUD Hanifa berdiri, anak-anak hanya masuk tiga kali seminggu. Namun, sejak awal Juni belajar sudah dilaksanakan setiap hari, kecuali Sabtu dan Ahad. Peminatnya pun banyak. Tercatat ada 103 anak yang belajar di PAUD Hanifa. Mereka dibagi menjadi dua kelas. Kelas nol besar belajar pukul 07.00 hingga 09.00 WIB.

Sedangkan ke las nol kecil masuk pukul 09.00 hingga 11.00 WIB. ‘’Yang belajar di sini hanya dari keluarga tidak mampu. Kita tidak menerima mereka yang mampu ekonominya,’’ kata Rolia.

Rolia menambahkan, adanya PAUD Hanifa sangat membantu warga untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Biaya masuk dan pendidikan di PAUD Hanifa gratis. Sebelumnya, karena keterbatasan yang ada, banyak anakanak di Kampung Belakang tak bisa menikmati pendidikan usia dini. ‘’Sebenarnya di sini ada juga TK, tapi banyak yang tidak kuat membayar uang pangkal dan bulanannya, akhirnya mereka tidak sekolah.’’

Hindun, salah seorang warga mengaku gembira dengan adanya PAUD Hanifa. ‘’Kalo nggak begini mana bisa kita nyekolahin anak. Boroboro untuk bayar sekolah, buat harihari saja susah,’’ tuturnya.

Ibu satu anak itu mengatakan, untuk seragam olahraga, orang tua murid ditarik iuran Rp 22.500. Jumlah itu dibayar dengan cara mencicil. ‘’Kadang sehari Rp 500, kadang juga seribu, jadi nggak memberatkan.’’

Rolia berharap kelak PAUD Hanifa bisa setara dengan TK-TK lainnya. Mereka punya kelebihan bisa menyelenggarakan PAUD dengan cara swadaya. Namun, dukungan belum memadai. Selama ini kebutuhan buku anak-anak dan alat peraga disubsidi oleh wali kota.

Sedangkan untuk operasional ada subsidi dari kelurahan. ‘’Kita maunya nanti bisa ada guru sendiri. Pokoknya berkembanglah bisa lebih maju lagi. Mudah-mudahan ada yang membantu,’’ tutur Rolia.

Letak Kampung Belakang sangat terisolir. Lokasi itu terputus dari ‘dunia luar’ oleh jalan tol Prof Dr R Sediatmo yang menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Menurut Lurah Kamal, Syamsuri, selain lokasinya yang terisolir, penduduknya umumnya berasal dari kalangan yang tidak mampu. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah petani ladang dan buruh.

Kegiatan Posyandu Hanifa dengan PAUD-nya ini, kata Syamsuri, sangat efektif untuk menjangkau pendidikan anak-anak usia pra sekolah terutama dari kalangan tidak mampu. Dia tidak menyebut berapa banyak anak-anak di Kelurahan Kamal yang belum tersentuh pendidikan prasekolah. Namun menurutnya, Posyandu Hanifa bisa dijadikan model bagi pelaksanaan pendidikan usia dini.

Selain Hanifa, di Kelurahan Kamal ada tiga PAUD lainnya. Yakni, di RW 4,5, dan 6. Senada dengan Rolia, Syamsuri juga menginginkan agar kegiatan PAUD ditingkatkan sehingga bisa setara dengan taman kanak-kanak biasa.

Pengamat pendidikan Arief Rachman menyambut kegiatan warga melalui Posyandu yang menyelenggarakan PAUD. Apalagi PAUD itu menurutnya kini sudah merupakan gerakan dunia yang menekankan penanaman akhlak yang
baik, berkomunikasi yang baik, berbahasa, dan berteman. ‘’Makin banyaknya taman bermain itu sangat baik, asal saja kegiatannya terarah,’’ kata Arief.

Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Gutama, mengatakan pemerintah memang sudah melihat potensi Posyandu sebagai penyelenggara PAUD. ‘’Karena itu bersama PKK kita akan memperkuat Posyandu ini.’’ katanya.

Di Posyandu, kata Gutama, selama ini sudah ada penyuluhan soal gizi, kesehatan, ibu, dan anak. ‘’Untuk pendidikan kan menjadi konsennya Diknas. Jadi kita masuk di sini.’’

Angka nasional untuk PAUD belum terlalu menggembirakan. Dari 28 juta anak umur 0-6 tahun, baru 27 persen atau sekitar 7,5 juta anak, yang sudah memperolehnya pendidikan usia dini. Sedangkan 73 persen atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkannya. Hingga tahun 2009 nanti, kata Gutama Diknas menargetkan peningkatan PAUD mencapai 17,3 juta. Tahun 2006 ini diharapkan terjadi kenaikan 12,5 persen atau menjadi 11 juta anak. ‘’Posyandu bisa berperan besar untuk meningkatkan pendidikan anak usia dini,’’ kata Gutama menandaskan.

Pendidikan Anak Usia Dini 2

Pentingnya Pendidikan Usia Dini

BAGI sebagian masyarakat pendidikan usia dini atau ‘Padu’ bukanlah hal yang baru lagi. Dan memang selayaknya pendidikan di usia dini ini harus membiasa di negeri ini. Padu tidak lagi harus dijadikan sebagai pendidikan tambahan semata atau malah kurang penting. Padu adalah pendidikan yang cukup penting dan bahkan menjadi landasan kuat untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan kuat.
Satu bentuk kepedulian untuk mencerdaskan anak melalui Padu sudah dilaksanakan di Pontianak. Baru-baru ini pemerintah di daerah ini mencanangkan 30 lembaga Padu yang dikhususkan untuk anak-anak yang kurang mampu bahkan program ini menjadi percontohan pengembangan Padu di Indonesia. Kapan daerah ini menyusul dan membuktikan kepeduliannya?
Golden Period’ atau periode keemasan pada usia dini (0-5 tahun) sudah sering dijelaskan di berbagai media. Pada usia dini sekitar 0-5 tahun ini merupakan usia yang sangat menentukan khususnya dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Pada usia inilah anak mampu menyerap informasi yang sangat tinggi sekaligus untuk pengembangan intelegensi permanen dirinya.
Namun sayangnya masih banyak para orangtua dan mungkin juga para pendidik yang tidak memahami potensi luar biasa yang dimiliki anak pada usia ini. Itu semua terjadi karena keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki yang akhirnya menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang.
Jangan heran, semakin diasah pada usia dini ini akan akan semakin terasah intelegensinya. Anak di umur satu tahun sudah bisa menghafal angka dan sebagian huruf. Di usia dua atau tiga tahun bahkan sebagian anak sudah bisa menulis dan mengenal angka. Semuanya terjadi karena kemampuannya dalam menyerap sesuatu yang super cepat namun bisa menjadi lemah jika jarang diasah.
Ilmu yang bisa cepat diperoleh anak tak semata hal diatas, namun segalanya sesuatu yang diajarkan ataupun yang diperhatikannya yang notabene akan membentuk sosok karakter dan kepribadiannya. Oleh karenanya, Padu, ataupun prasekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh dianggap sepele. Malah sebaiknya, pendidikan untuk anak sudah diajarkan sejak dalam kandungan.
Bagaimana Padu di daerah ini? Sudahkah mendapat perhatian besar dari pemerintah kita. Pentingnya Padu memang sudah mulai dipikirkan oleh para orangtua sehingga mau memasukkan anaknya ke sekolah Padu tertentu baik itu berbentuk Play Grup, TK atau TPA. Semakin banyaknya bermunculan sekolah-sekolah yang mayoritas dikelola swasta ini juga turut menandakan semakin banyaknya minat orangtua untuk menyekolahkan anaknya.
Begitupun jika dihitung masih cukup minim jumlah anak usia dini yang ada yang bisa menikmati pendidikan ini. Data dari Badan Pusat Statistik dari sekitar 2 juta anak di Sumut hanya sekitar 50 ribu anak yang mengenyam pendidikan Padu. “Ini jumlah yang sangat minim sekali,” ujar seorang pengamat pendidikan anak Nani Susilawati.
Padu menurut wanita yang juga sebagai Kepala Diklat Pendidikan Usia Dini Bunayya Al Hijrah memang masih dianggap sebagai hal yang kurang penting bagi sebagian orangtua. “Masih tertanam dalam pikiran orangtua, kalau tidak mengikuti Padu tidak apa-apa. Walaupun sebenarnya mereka itu mampu,” ujarnya.
Namun di sisi lain, kemampuan ekonomi juga membuat perkembangan Padu di berbagai daerah menjadi terhambat. “Seharusnya sesuai dengan program Padu yang sudah dicanangkan pemerintah, pemerintah harus lebih aktif untuk bisa membantu anak-anak usia dini yang kurang mampu untuk bisa bersekolah,” katanya.
Program pelaksanaan 30 lembaga Padu khusus untuk anak kurang mampu seperti yang ada di Pontianak tersebut menurutnya cukup baik dan itu menandakan kepedulian dan pemahaman pemerintah setempat yang sudah tinggi akan Padu. “Sumut juga bisa membuat program sama dan sebenarnya sudah pernah ada melalui PKK. Tapi gaungnya itu yang hampir tidak ada,” ucapnya.
Masyarakat menurutnya belum merasakannya padahal ini merupakan Pilot Project. Dengan penggunaan dana dari APBD ada dana sekitar 15-25 juta yang diberikan untuk satu proyek Padu. “Tapi realisasinya tidak ada. harusnya lebih transparan. Namun karena gaungnya tidak terdengar, kualitasnya diragukan dan tidak pernah ada laporannya,” ujarnya.
Namun begitupun ke depan Padu di Sumut harus berjalan lebih baik. Harus ada ‘Good Will’ atau kemauan dari pemerintah.
Program Padu itu memang harusnya lebih memprioritaskan anak-anak yang kurang mampu. Ini yang harus dipikirkan pemerintah,” ujarnya.
Begitupun tak hanya lembaga formal, komponen lain yang tak kalah penting pun harus terlibat aktif untuk mendukung Padu.
Orangtua juga harus terus mengembangkan potensinya dan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu dan wawasan untuk meningkatkan kualitas anaknya. * Henny Siswanto

Pendidikan Anak Usia Dini 1

Ibu dan Pendidikan Usia Dini

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada Februari 2, 2007
Oleh: Siti Nuryati
baitijannati - ”Hari Ibu”, begitu istimewanya sematan tersebut. Tak kita pungkiri bahwa posisi ibu sangat mulia hingga layak mendapat penghargaan khusus, yakni diperingati secara khusus tepatnya setiap tanggal 22 Desember tiba. Namun dibalik kemuliaan yang tersimpan dalam sosok seorang ibu, ada yang mesti kita renungkan saat ini. Pertanyaan besarnya adalah sudah sejauh mana kita memahami peran agung yang diemban seorang ibu hingga kita pun tak merasa malu untuk menyandang keagungan gelar tersebut.
Ibu, Pendidik Pertama dan Utama
Tugas utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu a rabbatul bait). Tugas utama ini tidak bisa tergantikan, karena Allah SWT telah menetapkan bahwa wanitalah tempat ‘persemaian’generasi manusia dan tempat menghasilkan ASI (Air Susu Ibu) sebagai makanan terbaik di awal kehidupannya. Hal ini harus kita pahami sebagai fungsi utama wanita dalam kehidupan ini. Sebab hal yang demikian itu tidak bisa diperankan oleh laki-laki.
Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, Allah SWT telah menetapkan beberapa hukum yang khusus buat wanita. Diantaranya hukum tentang kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan keringanan kepada wanita agar dirinya mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan baik, seperti tidak wajib bekerja mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan bagi wanita hamil dan menyusui. Semua hukum tersebut adalah untuk melindungi wanita agar tugas utamanya dapat terlaksana dengan baik.
Islam telah menempatkan wanita pada posisi yang mulia dengan tugasnya sebagai ibu. Tanpa keikhlasan dan kerelaan seorang ibu memelihara janin yang dikandungnya selama 9 bulan, tidak akan lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan kerelaannya dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh bayinya, hal itu akan berperan besar terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di jalan Allah dan ia sedang berpuasa.
Seorang ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anak sejak dini, sebab ibulah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman, dan sosok pertama yang dipercaya dan didengar omongannya. Karenanya ibu menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peran itu sangat menentukan kualitas masyarakat dan negaranya. Sedemikian penting peran ibu dalam menentukan masa depan masyarakat dan negaranya, sampai kaum perempuan (ibu) tersebut diibaratkan tiang negara.
Kedekatan fisik dan emosional ibu dengan anak sudah terjalin secara alamiah mulai masa mengandung, menyusui dan pengasuhan. Kasih sayang seorang ibu merupakan jaminan awal untuk tumbuh kembang anak dengan baik dan aman. Para ahli berpendapat bahwa kedekatan fisik dan emosional merupakan aspek penting keberhasilan pendidikan. Di sinilah arti penting peran ibu terhadap pendidikan anak usia dini.
Untuk menjalani peran ini Allah SWT telah memberikan potensi pada ibu berupa kemampuan untuk hamil, menyusui serta naluri keibuan. Disamping itu, Allah SWT juga telah menetapkan serangkaian syariat yang memerintahkan ibu untuk menjalankan perannya sesuai dengan potensi yang telah Allah berikan. Seperti anjuran untuk menyusui anak selama 2 tahun, mewajibkan ibu untuk mengasuh anaknya selama masa pengasuhan (hadlonah), yakni sampai anak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini akan mendorong ibu untuk melakukan semua tanggung jawabnya semata karena mematuhi perintah Allah SWT. Sesungguhnya anak bagaikan ‘radar’ yang dapat menangkap setiap obyek yang ada di sekitarnya. Perilaku ibu adalah kesan pertama yang ditangkap anak.
Apabila seorang ibu memiliki kepribadian agung dan tingkat ketaqwaan yang tinggi, maka kesan pertama yang masuk ke dalam benak anak adalah kesan yang baik.
Kesan yang baik ini akan menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan kepribadian anak ke arah ideal yang diinginkan. Disamping itu, anak sendiri membutuhkan figur contoh (qudwah) dalam mewujudkan nilai-nilai yang ditanamkan kepadanya selama proses belajar di masa kanak-kanak, sebab akal anak belum sempurna untuk melakukan proses berpikir. Ia belum mampu menterjemahkan sendiri wujud nilai-nilai kehidupan yang diajarkan kepadanya. Kekuatan figur ibu akan membuat anak mampu untuk menyaring apa-apa yang boleh dan tidak boleh diambil dari lingkungannya. Karena anak menjadikan apa yang diterima dari ibunya sebagai standar nilai.
Para pakar pendidikan mengajarkan bahwa keteladanan adalah media pendidikan yang paling efektif dan berpengaruh dalam menyampaikan tata nilai kehidupan. Dalam hal ini ibulah orang yang paling tepat untuk berperan sebagai qudwah pertama bagi anak. Ibulah yang paling besar peranannya dalam memberi warna pada pembentukan kepribadian anak, sehingga dibutuhkan ibu yang berkualitas yang akan mampu mendidik anaknya dengan baik. Pembinaan kepribadian anak menjadi tanggung jawab orang tua terutama ibu. Keluarga berperan menjadi wadah pertama pembinaan agama dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari luar. Peran orang tua terutama ibu menjadi penting karena ibulah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya.

Kehadiran orang tua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Bila anak kehilangan peran dan fungsi ibunya, sehingga dalam proses tumbuh kembangnya anak kehilangan pembinaan, bimbingan, kasih sayang, perhatian dan sebagainya, maka anak akan mengalami “deprivasi maternal”. Deprivasi maternal dengan segala dampaknya dalam perkembangan dapat terjadi tidak hanya jika anak semata-mata kehilangan figur ibu secara fisik (loss), tetapi juga bisa dikarenakan tidak adanya (lack) peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi anak terhadap ibunya. Deprivasi maternal pada anak usia dini jauh lebih besar pengaruhnya daripada anak pada usia yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan hubungan kasih sayang antara ibu dan anak terputus. Sering dijumpai pada anak-anak yang semacam ini suatu gangguan yang dinamakan “Attachment Disorder” atau “Failure to Thrive”. Pada kelainan kejiwaan semacam ini biasanya anak telah mengalami penyimpangan (distorsi).
Pada awal perkembangan, anak memerlukan stimulasi dini yang diberikan oleh ibu melalui panca indra fungsi-fungsi mental emosional agar anak terpacu
dan berkembang. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami deprivasi maternal juga mempunyai resiko tinggi untuk menderita gangguan perkembangan kepribadiannya, yaitu perkembangan mental intelektual, mental emosional bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka bila kelak telah dewasa akan memperlihatkan berbagai perilaku menyimpang, anti sosial, bahkan tindak kriminal.
Kondisi inilah yang semestinya menyadarkan para ibu (atau calon ibu) akan pentingnya peran ibu dalam mencetak generasi unggul. Para ibu tak boleh terlena dengan julukan ”surga di bawah telapak kaki ibu”. Mestinya keagungan julukan itu mendorong para ibu untuk menjalankan peran terbaiknya, terutama pada masa-masa mendidik anak yang berada pada tahap usia dini.